BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Main hakim sendiri merupakan suatu
tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap
bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan suatu tindak
pidana dinamakan penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi terutama dalam
pembicaraan ini tentang etiologi kriminal yang menganalisis sebab-sebab berbuat
jahat. Main hakim sendiri terjadi karena keretakan hubungan antara penjahat dan
korban yang tidak segera dipecahkan atau apabila telah dipecahkan dengan hasil
yang dirasakan tidak adil bagi korban atau keluarga korban sehingga tidak dapat
mengembalikan hubungan baik antara pembuat korban dan korban dan/atau keluarga
korban. Karena korban dan/atau korban merasa kepentingannya dan hak-haknya
diinjak-injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban maka korban berkewajiban
untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap korban secara
langsung.
Korban dan/atau keluarga korban atau
masyarakat dalam mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil
kembali harta benda miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan
kekerasan bahkan mungkin lebih keras dan lebih kejam daripada cara yang
digunakan oleh pembuat korban untuk mengambil hak milik korban. Apabila terjadi
demikian maka berarti terdapat pergeseran yang semula merupakan korban berubah
menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang semula pembuat korban menjadi
korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian terus menerus maka anggota
masyarakat selalu durinsung keresahan dan ketakutan. Oleh karena itu perlu
segera mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang dirasakan adil oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan.
Adanya kasus main hakim sendiri dalam
masyarakat, misalnya seorang mencuri ayam, anjing maupun pencopet yang
dikeroyok masyarakat hingga luka-luka bahkan meninggal dunia dinilai merupakan
cermin hippermoralitas yang terjadi di masyarakat.
Lebih lanjut Nawari menguraikan
hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat
tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk. “ Yang jelek dianggap
benar, kadang yang benar dianggap jelek. Semua serba abu-abu,” urainya.
Demikian disampaikan Dosen Komunikasi
Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nawari Ismail,
M.Ag. dalam diskusi terbatas ‘Cerminan
Hippermoralitas dalam Masyarakat’ Selasa (24/5-2012) siang di Kampus
Terpadu UMY.
Hal itu membuat masyarakat yang
menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan
tindakan yang benar. “Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara
hukum dan moral tetap saja salah,”jelasnya.
Sikap hippermoralitas tersebut terjadi
sebagai akibat adanya sikap masyarakat yang tidak menjadikan hukum sebagai
acuan. “Adanya sikap formalisme masyarakat terhadap aturan yang ada. Padahal
kasus-kasus pencopetan dan sebagainya harusnya cukup hanya ditangkap kemudian
diserahkan ke pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Bukan malah
ditangani sendiri yang terkadang justru menghilangkan nyawa orang lain,” tegasnya.
Selain itu formalisme tersebut terjadi
juga karena dampak reformasi yang sudah berlebihan. “Dimana orang menjadi bebas
melakukan sesuatu. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan
masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi. ” ujarnya.
Dalam penuturan Nawari, untuk
mengantisipasi masalah tersebut, harus ada kerjasama antara tokoh-tokoh
masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, kepolisian, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan lainnya. “Tokoh-tokoh masyarakat tersebut harus
mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun
tidak diperbolehkan. Tindakan dalam menangani sesuatu tetap tidak
diperbolehkan,” tegasnya.
1.2 Permasalahan
Ditinjau dari latar belakang diatas,
masalah yang dapat dirumuskan adalah;
1.
Bagaimana tinjauan kriminologis terhadap
perbuatan main hakim sendiri?
2.
Mengapa
masyarakat kerap melakukan perbuatan main hakim sendiri, dan bagaimana penanggulangannya?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan:
Untuk
mempelajari dan lebih memahami mengapa masyarakat pada umumnya sering melakukan tindakan
menghakimi apabila seseorang tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana.
Manfaat:
Agar
mahasiswa lebih mengetahui sejauh mana pertanggungjawaban yang dilakukan oleh
orang yang main hakim sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Kriminologis Terhadap
Perbuatan Main Hakim Sendiri
Dalam perkembangan hukum pidana,
selanjutnya restitusi seluruhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat
sehingga korban dan/atau keluarga korban tidak mendapat bagian sama sekali,
karena terjadi perubahan pengertian kejahatan dari pelanggaran melawan individu
menjadi pelanggaran melawan negara. Perbuatan tersebut sebagai awal perbedaan
dan pemisahan antara kesalahan perdata (Tort) dan kesalahan pidana. Kesalahan
perdata adalah hubungan antar pribadi termasuk hubungan antara kejahatan dan
korbannya, sedangkan kesalahan pidana merupakan hubungan antara perbuatan jahat
dan perbuatannya hal tersebut dikemukakan oleh Schafer.
Selanjutnya Schafer menambahkan
pendapatnya bahwa dengan pandangan yang berubah itu maka korban kejahatan
dikeluarkan dari pengertian hukum pidana. Karena hak korban untuk balas dendam
telah diambil alih oleh negara maka seharusnya negara memegang teguh amanat
yang dipercayakan kepada negara untuk membalas denda kepada pembuat kejahatan.
Negara dalam melaksanakan amanat masyarakat korban telah diatur secara abstrak
dan rinci dalam hukum pidana baik hukum pidana substansi maupun hukum pidana
formal dengan asumsi bahwa pembuat kejahatan dijatuhi pidana setimpal dengan
kesalahannya sehingga masyarakat korban merasakan kepuasan atas dipidananya
pembuat kejahatan. Misalnya Code Hammurabi yang dianggap peraturan paling kuno
telah mengatur restitusi antara lain berisi suatu perintah kepada pembuat
kejahatan membayar kembali kepada korban dan/atau keluarga korban sebanyak tiga
puluh kali lipat dari jumlah kerugian yang diderita oleh korban. Hukum Musa
kira-kira abad ke-13 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang pencurian
seerkor sapi jantan, pencurinya harus membayar lima kali dari jumlah kerugian
korban pencurian. Hukum Romawi Kuno pada kira-kira abad ke-8 Sebelum Masehi
antara lain mengatur tentang perampokan, bahwa perampok harus membayar empat
kali dari jumlah barang-barang yang dirampok dari korban. Perkembangan
selanjutnya untuk menghindari balas dendam atau main hakim sendiri dengan
formula “an eye for an eye and a tooth for a tooth”
Kaitannya dengan masalah restitusi, Karmen
berpandapat bahwa di dalam masyarakat terdapat perbedaan kelas-kelas dengan
tajam, oleh karena itu dapat dikatakan pelaksanaan restitusi hanya
menguntungkan kelas lebih atas. Apabila dalam suatu kasus kejahatan pihak yang
bersalah memiliki kekuasaan cukup maka untuk restitusi dari pihak kelas sosial lebih
rendah sulit berhasil tuntutannya sesuai dengan haknya. Sebaliknya apabila yang
bersalah kelas sosial lebih rendah daripada korbannya maka tuntutan
restitusinya dapat dilaksanakan sesuai dengan haknya. Hal ini berarti restitusi
berfungsi si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin.
Menurut pendapat Karmen bahwa akibat
penyalahgunaan pembayaran restitusi tersebut maka pada abad ke-12 terjadi
perubahan besar dalam menangani perkara kejahatan yang berakibat merugikan
korban secara pribadi dan keluarganya. Perluasan kepentingan negara terhadap
perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep “tidak berguna lagi kejahatan
dipertimbangkan sebagai kekejaman menyerang pribadi korban yang seharusnya
dibalas oleh kekejaman juga”. Kemudian melahirkan konsep “tuntutan pidana denda
guna memperbaiki keseimbangan masyarakat yang merupakan hak negara”. Konsep
selanjutnya “melakukan kejahatan berarti melawan negara”. Konsekuensinya
memberantas kejahatan menjadi kewajiban negara dan restitusi dengan nama pidana
denda menjadi hak negara, dan penjahat tidak wajib membayar restitusi kepada
korban .
Secara teoritik, konsep hukum pidana
baru yang ditopang oleh dasar pembedaan antara hukum pidana dan hukum perdata
mempunyai titik berat yang berbeda. Pembedaan titik berat dimaksudkan antara
lain:
ü Menurut
Voigt,
Mendasarkan
pada Law of the Twelve Tables memberdakan objek sanksinya yaitu perbuatan
menyerang orang merupakan hukum pidana, sedang perbuatan menyerang harta benda
merupakan hukum perdata.
ü Menurut
Kohler dan Ziebart,
Menegaskan
bahwa hukum pidana berarti pembuat harus memberikan perbaikan kepada korban
juga memberikan pembayaran uang kepada negara (Schafer).
ü Menurut
Mommsen,
Segala
sesuatu yang ditentukan oleh negara merupakan hukum pidana dan secara moral
wajib ditaati. Sanksi bersifat pembalasan merupakan hukum pidna dan sanksi
bersifat perbaikan merupakan hukum perdata.
Pakar hukum pidana menganut teori klasik
yaitu perbuatan jahat melawan negara merupakan hukum pidana, sedangkan tort
adalah perlawanan terhadap hak-hak perseorangan merupakan hukum perdata.
Sejalan dengan itu Schafer mengemukakan bahwa yang dimaksud kejahatan hanyalah
perbuatan dan penjahatnya, tidak termasuk korbannya, karena hubungan antara
korban dan kejahatan termasuk penjahatnya lebih bersifat perdata daripada
pidana.
Masing-masing bidang hukum tumbuh
berkembang sendiri mengenai peraturannya, adminitrasi peradilannya. Misalnya
dalam hukum pidana ukuran pembuktian dibutuhkan lebih tinggi, karena itu
berlaku adigum “suatu kesalahan pembuat kejahatan yang diragukan harus
ditolak”. Kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan finansial
perseorangan. Oleh karena itu apabila ternyata korban menderita suatu kerugian
finansial perbuatan pidananya selesai. Dalam praktiknya tuntutan ganti rugi korban
dalam proses hukum perdata selalu ditolak sehingga korban dan/atau keluarganya
tidak pernah mendapat restitusi. Oleh karena itu korban dan keluarganya harus
puas atas perbuatan kejahatan telah dijatuhi pidana oleh negara.
Perkembangan dan kemajuan kriminologi
pada pertengahan abad keduapuluh dalam kepustakaan viktimologi
ketidakseimbangan perlakuan terhadap pembuat kejahatan dan korbannya tidak
sejalan dengan pandangan baru bahwa keadilan menghendaki keseimbangan perhatian
dan perlakuan terhadap masnusia apapun status mereka dalam masyarakat yang
beradab. Status manusia dalam hukum pidana baik sebagai pembuat kejahatan
maupun sebagai korbannya tertutama mengenai hak dan kewajiban mereka
masing-masing harus seimbang. Dalam hal ini Reiff menyarankan agar restitusi
yang telah diambil alih oleh negara, wajar dikembalikan demi memuaskan rasa
balas dendam korban.
Perubahan dan perkembangan pandangan
masyarakat terhadap perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan kepada
para korbannya pada awalnya muncul atas pengaruh kriminologi hubungan yang
menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi antara pembuat dan korban,
hal tersebut dikemukakan oleh Separovic. Para pakar kriminologi, penologi dan
viktimologi seharusnya memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat
kejahatan dan korbannya dengan seimbang baik mengenai hak maupun kewajiban agar
dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya dalam terjadinya
kejahatan.
Menurut Iswanto hak dan kewajiban
pembuat kejahatan dan korban memang berbeda, bahkan bertentangan. Salah satu
pemecahan teoritik yaitu mengintegrasikan aspek kriminologi, aspek penologi dan
aspek viktimologi. Pendapat Reiff menyatakan bahwa hukum pidana modern pada
pertengahan kedua abad keduapuluh yang baru lalu bahwa asas pemidanaan harus
menghilangkan sifat pembalasan, dan sebaliknya justru berkewajiban
mempersiapkan pembuat kejahatan agar dapat menjadi warga masyarakat yang baik.
Berbeda bagi korban kejahatan mengharapkan agar pidana bermanfaat langsung,
mengembalikan dirinya seperti dalam kondisi sebelum menjadi korban. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa para kriminolog dan viktimolog menghendaki agar
suatu kejahatan dipertimbangkan dari aspek pembuat kejahatan dan aspek korban
dengan seimbang. Apabila hukum pidana mengintroduksi pendapat tersebut maka
masalah pokok hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum,
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, dan korban. Jadi hukum pidana bukan
criminal-oriented, tetapi seharusnya criminal- victim oriented, sehingga hukum
pidana mengkaji obyeknya dengan tepat, lengkap, dan kejahatan dapat dijelaskan
lebih baik serta sesuai dengan realitas. Bilamana maksud ini memperoleh
tanggapan baik dari pakar hukum pidana, maka hukum pidana akan lebih hidup dan
segar atas jasa sumbangan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di luar
disiplin hukum khususnya kriminologi dan viktimologi sehingga hukum pidana
dirasakan adil oleh anggota masyarakat beradab.
Dikemukakan oleh Soebagjo dan Supriatna,
hukum pidana yang sekarang berlaku belum mengatur secara seimbang antara
pembuat kejahatan dan korban, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan keadilan
bagi anggota masyarakat terutama yang menjadi korban dan keluarganya, apabila
dibiarkan dapat menggoncangkan masyarakat seperti yang sedang kita alami
bersama. Hukum pidana yang demikian itu tidak akan mencapai perdamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan.
2.2 Penannggulangan Perbuatan Main Hakim Sendiri
Bahayanya ialah terjadinya akumulasi
ketidaktaatan hukum dalam masyarakat hingga hukum seolah-olah tak berdaya.
Warga akan cenderung menegakkan kebenarannya sendiri-sendiri (individualistik)
tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih luas. Lebih ekstrim lagi, bisa
terjadi apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala
bagi sesamanya. Akan banyak muncul peristiwa main hakim sendiri, seperti
membakar pencuri hidup-hidup, pembunuhan ramai-ramai oleh warga terhadap oknum
yang disangka sebagai dukun santet, dan sebagainya. Bisa dipastikan bahwa kian
banyaknya kasus yang ketahuan (tertangkap) merupakan pertanda perilaku negatip
atau anti otoritas di masyarakat sudah kian meningkat. Dimana faktor
materialisme dan konsumerisme bertindak sebagai katalisator.
Seandainya hukum mampu menjangkau
perilaku-perilaku jahat warga yang sebenarnya tetap dikategorikan sebagai
kejahatan maka rumah tahanan dan penjara-penjara pun akan penuh. Oleh karena
itu, hukum selama ini memang sudah sangat kompromistis. Kompromistis karena
ketidakberdayaan penegak hukum itu sendiri dan kondisi warga yang memang cenderung
bersemangat anti otoritas hukum, sebagai salah satu semangat di era post
modernisme ini. Bukan lagi sekedar anti terhadap otoritas hukum melainkan juga
anti atas otoritas lain yang semestinya lebih tinggi, yaitu otoritas Tuhan
(nilai-nilai keagamaan). Disamping itu terjadi pula penentangan atas
nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Ini berarti struktur peradaban kita
semakin tidak jelas dan disertai dengan kian hilangnya “rasa malu” pada
sebagian warga.
Dalam rangka upaya represif aparat hukum
memang diharapkan untuk lebih bertindak tegas terhadap segala pelanggaran hukum
oleh warga, termasuk pelanggaran oleh aparat sendiri. Pelaku main hakim sendiri
harus segera ditindak tegas guna mencegah terjadinya kejahatan penganiayaan.
Pemerintah juga perlu mengambil tindakan tegas kepada kelompok-kelompok
tertentu yang kerap melakukan tindakan main hakim sendiri.
Khusus dalam upaya preventif-lah peran
agama dan pendidikan merupakan dua pilar yang sangat penting. Selain fungsi
agama yang mempertobatkan manusia, agama juga memiliki posisi strategis dalam
upaya meluruskan semangat yang menyimpang dalam masyarakat. Agama dan
pendidikan harus mampu mengantisipasi benih-benih kejahatan dalam warga agar
tidak berkembang menjadi suatu kejahatan nyata yang melanggar hukum negara. Dua
pilar ini yang sebenarnya paling bertanggungjawab atas terhindarnya warga dari
perbuatan tercela yang melanggar hukum.
Apabila nilai-nilai religiusitas,
pendidikan dan nilai sosial budaya mampu menyadarkan masyarakat tentang makna
hidup yang tidak hanya bergantung pada materi maka teori Thomas Aquino yang
mengatakan, bahwa kemiskinan memberikan kesempatan untuk berbuat jahat, tidak
selamanya lagi berlaku. Selain itu perlu pula diperhatikan bahwa lingkungan
sosial yang tidak baik bisa membuat seseorang menjadi jahat, sedangkan
lingkungan yang baik akan berakibat sebaliknya. Dalam hal ini, tugas kita
bersama untuk mewujudkan suatu lingkungan sosial yang baik.
Berbagai masalah mengenai main hakim sendiri dapat diatasi
dengan berbagai tindakan antara lain adalah:
1.
Hukum dan peraturan
perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik dan dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki kepribadian, jujur, tidak memihak, serta memiliki kemampuan.
2.
Peraturan perundang-undangan sebaiknya
bersifat melarang, bukan bersifat mengahruskan.
3.
Sanksi yang diancamkan di dalam
perundang-undangan haruslah sebanding dengan sifat perundang-undangan yang
dilanggar.
4.
Lembaga hukum harus dibebaskan dari
berbagai kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif, utamanya kekuasaan eksekutif, dan
5.
Para pelaksana hukum harus menafsirkan
peraturan perundang-undangan sesuai dengan tafsir yang dilakukan oleh aparat
pelaksana hukum. Melalui tindakan-tindakan ini dan menentukan akar permasalahan
timbulnya tindakan main hakim sendiri, diharapkan tindak kekerasan oleh massa
dapat dihentikan.
Menurut Parsons (1971) terdapat
beberapa masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu:
1.
Masalah legitimasi, yang berkaitan
daengan landasan bagi pentaatan kepada peraturan,
2.
Masalah interpretasi, yang menyangkut
masalah penetapan hak dan kewajiban subjek melalui proses penerapan peraturan,
3.
Masalah sanksi, berkaitan dengan
penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul apabila terdapat pentaatan atau
pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa yang berhak menerapkan sanksi
tersebut,
4.
Masalah yirisdiksi, yaitu berkaitan
dengan penetapan garis kewenangan tentang siapa yang akan berhak menegakan
norma-norma hukum dan apa saja yang akan diatur oleh norma hukum
tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).
Keempat masalah
ini menjadi amat penting, karena produk hukum yang berupa peraturan hukum harus
memenuhi dan menjamin sara keadilan masyarakat.
Dalam
banyak peristiwa main hakim sendiri, polisi memang sering dibuat repot. Tidak
saja saat menghadapi amuk massa itu berlangsung, tapi menyangkut proses hukum
atas pelanggaran yang sering terjadi. Sebab apapun alasannya, warga tidak
dibenarkan melakukan kekerasan, penindasan apalagi sampai menghilangkan nyawa
orang lain. Setiap kali terjadi
tindakan main hakim sendiri oleh warga, polisi adalah aparat penegak hukum yang
paling banyak direpotkan. Dalam banyak kejadian, warga baru melaporkan
kejadiannya setelah korban babak belur bahkan tewas di tangan mereka. Amuk
warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan kepastian penegakan hukum
oleh aparat.
Jeritan
dan permohonannya agar tidak dipukuli tidak dihiraukan, warga terus saja
memukulinya. Aksi anarkis warga baru mereda setelah kemudian datang petugas.
Namun tak urung, orang yang menjadi bulan-bulanan massa tersebut sudah bonyok
bersimbah darah.
Petugas
masih beruntung korban masih hidup, sehingga nyawa pria yang dipergoki sedang
merampok inipun masih bisa diselamatkan. Namun tetap saja, kadang-kadang karena
parahnya luka yang ia derita, di perjalanan ke rumah sakit nyawanya tak
tertolong lagi. Polisi memang biasanya diberi laporan dan datang ke lokasi
kejadian setelah warga berhasil melampiaskan amarah dan kekesalannya.
2.3 Faktor-Faktor Utama Dari Tindakan
Main Hakim Sendiri
Kemajuan pebangunan yang dicapai oleh masyatrakat
Indonesia saat ini secara umum dapat dikategorikan pada struktur masyarakat
bentuk solidaritas organik. Dengan kemajuan ini tentunya norma hukum yang
dianut lebih bersifat restritutif. Namun melihat perilaku nain hakim sendiri
yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat yang memiliki karakteristik
solidaritas mekanik. Ketidakselarasan antara kemajuan zaman dengan praktik
pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai penyimpangan.
Seiring dengan jatuhnya kekuasaan orde baru, masyarakat
kemudian merasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, masyarakat kemudian
mengadopsi dan meniru pola atau model penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
pemerintah orde baru. Masyarakat telah belajar banyak dari kemampuan pemerintah
orde baru dalam menggunakan kekuasaannya, yang selanjutnya dipraktikan dalam
bentuk pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya
masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat
lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaanya, meskipun tindakan
tersebut disadari telah melanggar hukum.
Faktor penyebab utama dari tindakan Main
Hakim Sendiri itu adalah:
a. Supaya
pelaku tidak melakukan perbuatan lagi (residivis) atau pelaku kejahatan yang
pernah melakukan perbuatan serupa menjadi jera misalnya curanmor, jambret
b. Masyarakat
tidak lagi mempercayai upaya Hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian
c. Karena
ikut-ikutan saja, ketika melihat massa secara anarkhis dan membabi buta
menghajar pelaku mereka ikut-ikutan.
d. Perbuatan
pidana itu sendiri sudah sangat meresahkan masyarakat.
Kendala-kendala
yang dialami pihak Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan Main Hakim Sendiri,
antara lain adalah:
a. Tidak
adanya laporan mengenai tertangkapnya pelaku oleh massa.
b. Tidak
adanya laporan mengenai adanya tindakan Main Hakim Sendiri.
c. Letak
TKP yang jauh dari markas Kepolisian, khususnya di daerah yang sulit
tranportasi
d. Tidak
ada masyarakat yang mau memberikan ketarangan (saksi) terhadap Tindakan Main
Hakim Sendiri.
e. Ruang
tahanan yang kurang memadai untuk tempat tahanan dalam perkara yang melibatkan
massa.
f. Minimnya
anggota Kepolisian setingkat Polsek.
III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Main hakim sendiri merupakan
pengejawantahan balas dendam yang turun temurun oleh korban dan/atau keluarga
korban kepada pembuat korban. Guna menghentikan balas dendam yang turun temurun
tersebut maka kepala kelompok/komune/masyarakat sederhana yang anggota
kelompoknya tersebut jahat mengumpulkan harta benda milik anggota masyarakat
untuk memperbaiki atau mengganti rugi kerusakan atau penderitaan anggota
kelompok masyarakat yang menjadi korban. Harta benda sebagai ganti kerugian
oleh masyarakat yang berbuat jahat disebut restitusi digunakan untuk
kepentingan korban dan/atau keluarganya serta untuk kepentingan masyarakat atau
kepala kelompok.
3.1 Saran
ü Hendaknya
masyarakat menyadari bahwa tindakan Main Hakim Sendiri, sesungguhnya adalah
merupakan tindakan kejahatan, sehingga diharapkan masyarakat agar sadar dan
tidak segan-segan untuk melaporkan tindakan kejahatan Main Hakim Sendiri kepada
Petugas Kepolisian, jika terjadi kasus tersebut.
ü Untuk
menghindari rasa takut agar segera masyarakat untuk melaporkan kasus Main Hakim
Sendiri, kepada Petugas Kepolisian, dan hendaknya pihak Kepolisian memberikan
perlindungan serta jaminan kepada si pelapor.
ü Dalam
rangka memperlancar proses penyidikan terutama penahanan para tersangka,
hendaknya kepolisian memperhatikan pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana
penunjang seperti perluasan ruang tanahan sehingga dapat menampung tahanan
dalam jumlah yang besar.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Sukwan. 2012. Fonemena Main Hakim Sendiri. Berita
Indosiar Live Streaming.
http://www.indosiar.com/ragam/fenomena-main-hakim-sendiri_40966.html
(diakses pada tanggal 24 mei 2011).
Simanjuntak, Agustinus. 2009. Kejahatan dan penanggulangannya. artikel
http://www.glorianet.org/index.php/augus/107--kejahatan.
(diakses pada tanggal 23 mei 2012).
Rahman Hakim , Arfah. 2006. Tinjauan Yuridis Sosiologis Terhadap Kasus
Main Hakim Sendiri.TERHADAP_KASUS_MAIN_HAKIM_SENDIRI_(Pembunuhan_Oleh_Massa_Terhadap_Pelaku_Curanmor_Di_Wilayah_Hukum_Polsek_Bululawang_Dan_Polsek_Singosari)
(diakses pada tanggal 24 mei 2012)
Sumber-sumber lain:
http://www.umy.ac.id/kasus-main-hakim-sendiri-cermin-hippermoralitas-masyarakat.html
(diakses pada tanggal 24 mei 2011).
http://hqsa.blogspot.com/2012/04/contoh-makalah-kriminologi.html
(diakses pada tanggal 25 mei 2012)
(diakses pada tanggal 25 mei 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar