Selasa, 12 Februari 2013

Makalah Prosedur & Praktik HAM di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 LATAR BELAKANG
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.
Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal/legalistik seringkali dijadikan alasan. Peradilan seringkali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Jika melihat KUHP Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan.
Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan statuta roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extraordinary crimes yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakukan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran HAM yang berat.

Sesuai dengan prinsip hukum internasional, khususnya prinsip universal dimana tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kwalifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus. Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM

1. 2  POKOK PERMASALAHAN
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
·      Bagaimana perkembangan HAM di Indonesia?
·      Bagaimana kedudukan HAM dalam praktek hukum Indonesia?
1. 3  TUJUAN
·       Mempelajari dan memahami mengenai  perkembangan HAM di Indonesia.
·       Mempelajari kedudukan HAM dalam praktek hukum Indonesia.
1. 4  METODE  PEMBAHASAN
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada ruang lingkup HAM.
Dalam hal ini penulis menggunakan:
1.         Metode deskritif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini    bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih (Atherton dan Klemmack: 1982).
2.         Penelitian kepustakaan, yaitu Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.


BAB II
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
2. 1  PENGERTIAN DAN CIRI POKOK HAKIKAT HAM
2. 1. 1  PENGERTIAN HAM
  • HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
  • Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
  • John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
  • Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2. 1. 2  CIRI POKOK HAKIKAT HAM
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
  • HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
  • HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
  • HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
2. 2  PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM
  • Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
ü  Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
ü  Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
ü  Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
ü  Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government

  • Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1.      Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum (Mansyur Effendi,1994).
2.      The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
3.      The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
4.      The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).

2. 2. 1  PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM DI INDONESIA
ü  Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
ü  Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1.      Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
2.      Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
3.      Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
4.      Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
2. 3  KEDUDUKAN HAM DALAM PRAKTEK HUKUM INDONESIA
Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan. Pengaturan tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :
a. Kedudukan
        Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
1.      Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan HAM ini digelar.
2.      Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3.      Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4.      Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.
b. Jenis kejahatan yang dapat diadili
         Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM adalah :
1.      Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.
2.      Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil regim itu.
c. Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law
         Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
         UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
1.      Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
2.      Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3.      Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4.      Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5.      Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.
         Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam uu No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu :
Penangkapan
Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup . Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat yang dipersangkakan. Keluarga harus mendapatkan tembusan untuk adanya penangkapan tersebut segera setelah penangkapan dilakukan.
Pelaku pelanggaran HAM berat yang tertangkap tangan, penangkapannya dilakukan tanpa surat perintah tetapi dengan segera bahwa orang yang menangkap harus segera menyerahkannya kepada penyidik. Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa penagkapan ini dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
         Ketentuan khusus mengenai penangkapan ini jika dikomparasikan dengan KUHAP tidak jauh berbeda. Yang membedakan adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas penangkapan adalah Jaksa Agung sedangkan dalam KUHAP yang melakukan penangkapan adalah petugas kepolisian Republik Indonesia.
Penahanan
           Selama proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan lanjutan dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan yang berwenang melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan penetapan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang disyaratkan yaitu adanya dugaan keras melakukan pelanggaran HAM berat dengan bukti yang cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi pelanggaran HAM berat. Alasan penahanan ini adalah alasan yang berdasarkan atas alasan subyektif dari penyidik atas kondisi yang disyaratkan tersebut, artinya pertimbangan atas adanya bukti yang cukup, kekhawatiran akan menghilangkan barang bukti atau akan melakukan pelanggaran HAM yang berat adalah alasan atas penilaian dari pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau hakim yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk dapat dilakukan penahanan kepada tersangka maupun terdakwa.
Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan, maka dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya.
Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahnanan jika selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan belum dapat diselesaikan. KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum selesai.
           Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari. Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi. Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.
           Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum diputus.
Penyelidikan
            Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
           UU No 26 Tahun 2000 mengatur secara berbeda tentang siapa yang berhak melakukan penyelidikan. Dalam penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa diperlukan langkah-langkah yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang bersifat khusus, dimana diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan. Kewenangan penyelidikan yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai kekhususan mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
           Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas HAM dan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang sifatnya pro justitia. Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen baik dari segi institusi maupun anggotanya. Secara kelembagaan Komnas HAM dianggap tidak memiliki kepantingan kecuali terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia sedangkan anggota Komnas HAM dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan kemampuan teknis untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.
           Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, memanggil saksi untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Disamping tindakan-tindakan diatas, atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa : pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
           Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka harus memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas adanya pelanggaran HAM yang berat maka hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7 hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan. Jika penyidik menganggap bahwa penyelidikan kurang lengkap maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi.
           Disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.
Penyidikan
           Definisi tentang penyidikan tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung. Penyelidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat dan pemerintah.
           Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.
           Jaksa Agung wajib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika dalam waktu yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3 ini, penyidikan atas kasus dapat dibuka kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan. Atas penghentian penyidikan ini, jika tidak dapat diterima oleh korban dan keluarganya, maka ada hak untuk mengajukan praperadilan bagi korban dan keluarganya atas penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan HAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai dengan KUHAP.
Penuntutan
           UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24. Pasal 23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut umum ad hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat tertentu.
           Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan.
Pemeriksaan di sidang pengadilan
1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc
           Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi.
           Dari ketentuan diatas, pengaturan tentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat Peninjauan Kembali (PK), mengingat bahwa dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) proses bahwa peninjuan kembali atas suatu perkara pidana juga dimungkinkan dan itu merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya tetapi dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 ini tidak diatur tentang hakim ad hoc untuk pemeriksaan upaya hukum luar biasa dengan cara peninjauan kembali. Apakah masih menggunakan komposisi hakim ad hoc atau tidak. Hal ini pun tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini.
           Pengertian hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat diluar hakim karir yang memenuhi persyaratan professional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
           Jumlah hakim ad hoc di pengadilan HAM yang harus diangkat adalah sekurang-kurangnya 12 orang dan masa jabatannya adalah 5 tahun yang dapat diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi. Hakim ad hoc ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama untuk hakim ad hoc pada pengadilan tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc tingkat kasasi di Mahkamah Agung diangkat oleh presiden selaku kepala negara atas usulan dewan perwakilan rakyat RI dan lama jabatan hanya satu periode yaitu selama 5 tahun.
           Hakim ad hoc ini dalam pemilihannya memerlukan syarat-syarat tertentu yang tertuang dalam pasal 29. Hakim ad hoc juga wajib mengucapkan sumpah. Syarat untuk menjadi hakim ad hoc ini berlaku untuk hakim tingkat banding dan hakim ad hoc tingkat kasasi. Perkecualian khusus untuk hakim ad hoc tingkat kasasi berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan tidak ada batasan maksimal umurnya.
           Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan HAM. Pada tingkat banding maka perkara diperiksa dan diputus paling lama 90 hari. Jika perkara dimintakan kasasi maka perkara pelanggaran HAM berat ini di periksa dan diputus paling lama 90 hari atau selama 3 bulan.
           Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah mengenai proses pelimpahan berkas perkara dalam tingkat pertama ke tingkat banding dan dari tingkat pertama ke kasasi ketika jaksa mengajukan kasasi saat terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan mengenai mekanisme pelimpahan berkas dalam ke tingkat banding dan kasasi menggunakan mekanisme KUHAP.

2. Prosedur Pembuktian
Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.
Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu pada alat bukti yang sesuai dengan KUHAP yaitu pasal 184. Hal-hal yang dapat dijadikan alat bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek peradilan internasional. Pengalaman-pengalaman internasional yang menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan.

d. Ketentuan Pemidanaan (Penal Codes)
           Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjamin bahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang ringan.
           Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama dengan kejahatan yang diatur dalam pasal 9 (tentang kejahatan terhadap kemanusiaan) huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d (pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa), atau j (kejahatan apartheid).
           Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yaitu perbudakan diancam dengan pidana selama-lamanya 15 tahun dan paling singkat 5 tahun (ps 38). Demikian pula dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa penyiksaan diancan hukuman paling lama 15 tahun dan peling rendah 5 tahun (ps 39). Kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, kemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara diancam pidana selama-lamanya 20 tahun dan serendah-rendahnya selama 10 tahun (ps 40).
           Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa percobaan dan ikut serta berupa permufakatan jahat atau pembantuan terhadap terlaksanya pelanggaran HAM berat, ancaman hukumannya dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. ketentuan ini mengindikasikan bahwa apapun peranan pelaku baik karena percobaan pelanggaran HAM berat, ikut serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan pelanggaran HAM berat maupun pembantuan terhadap terlaksananya pelanggaran HAM berat tidak ada pengaturan pengecualian terhadap mereka karena ancamannya dipersamakan.
           Ketentuan pemidaan yang dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38 , 39 dan 40 adalah untuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang komandan dari militer, polisi maupun sipil seperti yang diatur dalam pasal 42 ayat 3 UU No. 26 Tahun 2000.
e. Delik tanggung jawab komando
           Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung jawab komando yaitu :
1. Unsur Militer
Diatur dalam ayat 1 yang menentukan Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut.
2. Unsur Polisi Atau Sipil
   Dalam ayat 2 yang menentukan seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar.
            Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun 2000 ini. pengertian tanggung jawab komando dalam pasal 42 ayat 1 menyatakan :
“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif.
            Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.
            Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.
Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, ” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando.
 
 4. Pengadilan Ham Ad Hoc
            Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.
        Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini.
        Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1.      Adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
2.       Adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3.      Adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempus dan locus delicti tertentu.
4.      Adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.
Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.
Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari DPR.
















BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
           Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
3.2 SARAN
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain.








DAFTAR PUSTAKA
Tim ICCE UIN Jakart. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta : The Asia Foundation dan Prenada Media.
Rahman, Lailur. 2010. Hak Asasi Manusia Dalam Pancasila. Tersedia online di http://ilulcreative.wordpress.com/2010/10/05/makalah-hak-asasi-manusia-dalam-pancasila/
diakses pada tanggal 26 juni 2011.
Nurna. 2008. Makalah PPKN Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Artikel. Tersedia online di http://www.anakciremai.com/2008/04/makalah-ppkn-tentang-hak-azasi-manusia.html.
diakses pada tanggal 26 juni 2011.
Hatsuke. 2009. Hak Asasi Manusia. Artikel. Tersedia online di http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/hak-asasi-manusia.html. Diakses pada tanggal 26 juni 2011.

Makalah Pkn Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Artikel. Tersedia online di http

              ://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/09/13/makalah-pkn-tentang-hak-asasi-manusia-

              ham/. Diakses pada tanggal 26 juni 2011.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar