BAB I
PENDAHULUAN
1.
1 LATAR BELAKANG
Hak
merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga
merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang
sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum
reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak
sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau
pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.
Dalam
prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum
Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan
dengan kebijakan yang formal/legalistik seringkali dijadikan alasan. Peradilan
seringkali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan
konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Jika melihat KUHP
Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur
tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan,
penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan.
Jenis
kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya
biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang
berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai
dengan statuta roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM
yang berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extraordinary crimes
yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan
kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak
mungkin menyamakan perlakukan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP
tidak dapat untuk menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran HAM yang
berat.
Sesuai
dengan prinsip hukum internasional, khususnya prinsip universal dimana tidak
mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kwalifikasi
universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan
didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula
acara pidana yang bersifat khusus. Pengertian tentang perlunya peradilan yang
secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi
landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan
pengadilan HAM
1. 2
POKOK PERMASALAHAN
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai
berikut:
· Bagaimana perkembangan HAM di
Indonesia?
· Bagaimana kedudukan HAM dalam
praktek hukum Indonesia?
1. 3
TUJUAN
· Mempelajari dan memahami mengenai perkembangan HAM di Indonesia.
·
Mempelajari
kedudukan HAM dalam praktek hukum Indonesia.
1. 4 METODE
PEMBAHASAN
Agar
masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan
dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah
hanya pada ruang lingkup HAM.
Dalam hal ini penulis menggunakan:
1.
Metode
deskritif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu
gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih (Atherton dan Klemmack:
1982).
2.
Penelitian
kepustakaan, yaitu Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan
data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada
hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.
BAB II
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
2. 1
PENGERTIAN DAN CIRI POKOK HAKIKAT HAM
2. 1. 1 PENGERTIAN HAM
- HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
- Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
- John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
- Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2. 1. 2 CIRI POKOK
HAKIKAT HAM
Berdasarkan
beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri
pokok hakikat HAM yaitu:
- HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
- HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
- HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
2. 2
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM
- Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
ü Generasi pertama berpendapat bahwa
pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM
generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan
situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang
baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
ü Generasi kedua pemikiran HAM tidak
saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian
konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis
kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak
sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
ü Generasi ketiga sebagai reaksi
pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan
antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang
yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya
hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana
terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi
prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak
korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
ü Generasi keempat yang mengkritik peranan
negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada
pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya aspek
kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak
berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan
sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara
di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia
yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government
- Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1. Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa
berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna
Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki
kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak
terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai
dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum (Mansyur Effendi,1994).
2. The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya
ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir
dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah
merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir
ia harus dibelenggu.
3. The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789
lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang
hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara
lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan
itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang
ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah,
sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia
bersalah.
4. The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara
dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam
Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan
sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha,
pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi
berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur
Effendi,1994).
2.
2. 1 PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM DI
INDONESIA
ü Pemikiran HAM periode sebelum
kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk
mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
ü Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai
sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27
Desember 1949, berlaku UUD 1945
2.
Periode
27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia
Serikat
3.
Periode
17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
4.
Periode
5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
2. 3 KEDUDUKAN HAM
DALAM PRAKTEK HUKUM INDONESIA
Dalam
perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat
aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam
ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan
pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden
dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan
yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam
konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang
sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum,
sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan
yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih
bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-undang
dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami
perubahan. Pengaturan tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000
adalah sebagai berikut :
a. Kedudukan
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus
yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM
mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan
administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat
tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan
administratif itu adalah :
1.
Ruangan
pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak
ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus
lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan HAM ini
digelar.
2.
Dukungan
staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara
pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim
yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3.
Dukungan
panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini
adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani
kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4.
Ruangan
hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun untuk
hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai
ruangan tersendiri.
b. Jenis
kejahatan yang dapat diadili
Jenis kejahatan yang dikategorikan
sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan
HAM adalah :
1.
Kejahatan
genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung
kepada penduduk sipil regim itu.
c. Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law
Pasal
10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah
hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses
pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
UU
No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP
untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM
yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
1.
Diperlukan
penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan
hakim ad hoc.
2.
Diperlukan
penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia
sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana
diatur dalam KUHAP.
3.
Diperlukan
ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4.
Diperlukan
ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak
ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.
Kekhususan ini
kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam uu No. 26/2000 yang merupakan
pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu :
Penangkapan
Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan
dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga
keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup .
Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan
memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat
dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat
yang dipersangkakan. Keluarga harus mendapatkan tembusan untuk adanya penangkapan
tersebut segera setelah penangkapan dilakukan.
Pelaku pelanggaran HAM berat yang
tertangkap tangan, penangkapannya dilakukan tanpa surat perintah tetapi dengan
segera bahwa orang yang menangkap harus segera menyerahkannya kepada penyidik.
Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa penagkapan ini dapat dikurangkan
dari pidana yang dijatuhkan.
Ketentuan
khusus mengenai penangkapan ini jika dikomparasikan dengan KUHAP tidak jauh
berbeda. Yang membedakan adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas penangkapan
adalah Jaksa Agung sedangkan dalam KUHAP yang melakukan penangkapan adalah
petugas kepolisian Republik Indonesia.
Penahanan
Selama
proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan lanjutan dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan yang berwenang melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan
penetapan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang
disyaratkan yaitu adanya dugaan keras melakukan pelanggaran HAM berat dengan
bukti yang cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi pelanggaran HAM
berat. Alasan penahanan ini adalah alasan yang berdasarkan atas alasan
subyektif dari penyidik atas kondisi yang disyaratkan tersebut, artinya pertimbangan
atas adanya bukti yang cukup, kekhawatiran akan menghilangkan barang bukti atau
akan melakukan pelanggaran HAM yang berat adalah alasan atas penilaian dari
pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau hakim yang memeriksa
terdakwa. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga mensyaratkan
adanya unsur obyektif untuk dapat dilakukan penahanan kepada tersangka maupun
terdakwa.
Jangka waktu penahanan untuk
penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang selama 90
hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah selesai tapi
penyidikan belum dapat diselesaikan, maka dapat diperpanjang selama 60 hari
oleh ketua pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk
penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika
belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan
sesuai dengan daerah hukumnya.
Ketentuan mengenai lamanya penahanan
ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan
dari tahnanan jika selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan
belum dapat diselesaikan. KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan
juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah
selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum
selesai.
Penahanan
untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan selama 90
hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari. Dalam
pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama 60
hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi.
Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan
selama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.
Dalam KUHAP
perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan
berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka
atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan
pidana penjara selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini
dapat dilakukan untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari
berikutnya. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah
dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum
diputus.
Penyelidikan
Huruf
5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan diartikan
sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada
tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang ini.
UU
No 26 Tahun 2000 mengatur secara berbeda tentang siapa yang berhak melakukan
penyelidikan. Dalam penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa
diperlukan langkah-langkah yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang
bersifat khusus, dimana diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc.
Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak berwenang
menerima laporan atau pengaduan. Kewenangan penyelidikan yang berbeda dengan
pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai kekhususan mengenai
penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
Penyelidikan
untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas HAM dan
penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang
sifatnya pro justitia. Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga
objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang
bersifat independen baik dari segi institusi maupun anggotanya. Secara
kelembagaan Komnas HAM dianggap tidak memiliki kepantingan kecuali terhadap
perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia sedangkan anggota Komnas HAM
dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan kemampuan teknis untuk
melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM membentuk tim ad
hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Komnas
HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka
melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil
pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
keterangannya, memanggil saksi untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan
mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap
perlu, memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Disamping
tindakan-tindakan diatas, atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan
berupa : pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat
terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan
penyelidikan.
Komnas
HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM yang
berat maka harus memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah
penyelidik menyimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas
adanya pelanggaran HAM yang berat maka hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik.
Paling lambat 7 hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas HAM menyerahkan seluruh
hasil penyelidikan. Jika penyidik menganggap bahwa penyelidikan kurang lengkap
maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk
dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi.
Disamping
mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM
yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan
secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan
penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.
Penyidikan
Definisi
tentang penyidikan tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Pihak yang
berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah
Jaksa Agung. Penyelidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan
laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM.
Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari
unsur masyarakat dan pemerintah.
Penyidikan
yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal
hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan
dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama
penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari,
baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM
sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.
Jaksa Agung
wajib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika dalam waktu
yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3 ini,
penyidikan atas kasus dapat dibuka kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan
dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan. Atas penghentian penyidikan
ini, jika tidak dapat diterima oleh korban dan keluarganya, maka ada hak untuk
mengajukan praperadilan bagi korban dan keluarganya atas penghentian penyidikan
oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan HAM sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai dengan KUHAP.
Penuntutan
UU
No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24.
Pasal 23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan
oleh Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat
jaksa penuntut umum ad hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc
harus memenuhi syarat tertentu.
Pasal 24
mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak
tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini
berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka
waktu penuntutan.
Pemeriksaan di sidang pengadilan
1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc
Pasal
27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat
diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang
hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis
hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada
tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang
hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga
komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi.
Dari
ketentuan diatas, pengaturan tentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat
kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat
Peninjauan Kembali (PK), mengingat bahwa dalam hukum acara pidana Indonesia
(KUHAP) proses bahwa peninjuan kembali atas suatu perkara pidana juga
dimungkinkan dan itu merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya tetapi dalam
ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 ini tidak diatur tentang hakim ad hoc untuk
pemeriksaan upaya hukum luar biasa dengan cara peninjauan kembali. Apakah masih
menggunakan komposisi hakim ad hoc atau tidak. Hal ini pun tidak diatur dalam
UU No. 26 Tahun 2000 ini.
Pengertian
hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat diluar hakim karir yang memenuhi
persyaratan professional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati
cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan,
memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
Jumlah
hakim ad hoc di pengadilan HAM yang harus diangkat adalah sekurang-kurangnya 12
orang dan masa jabatannya adalah 5 tahun yang dapat diangkat untuk 1 kali masa
jabatan lagi. Hakim ad hoc ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku
kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama untuk hakim ad
hoc pada pengadilan tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc tingkat kasasi di
Mahkamah Agung diangkat oleh presiden selaku kepala negara atas usulan dewan
perwakilan rakyat RI dan lama jabatan hanya satu periode yaitu selama 5 tahun.
Hakim
ad hoc ini dalam pemilihannya memerlukan syarat-syarat tertentu yang tertuang
dalam pasal 29. Hakim ad hoc juga wajib mengucapkan sumpah. Syarat untuk
menjadi hakim ad hoc ini berlaku untuk hakim tingkat banding dan hakim ad hoc
tingkat kasasi. Perkecualian khusus untuk hakim ad hoc tingkat kasasi berumur
sekurang-kurangnya 50 tahun dan tidak ada batasan maksimal umurnya.
Perkara
pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan dalam jangka waktu
paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan HAM.
Pada tingkat banding maka perkara diperiksa dan diputus paling lama 90 hari.
Jika perkara dimintakan kasasi maka perkara pelanggaran HAM berat ini di
periksa dan diputus paling lama 90 hari atau selama 3 bulan.
Ketentuan
yang perlu diperhatikan adalah mengenai proses pelimpahan berkas perkara dalam
tingkat pertama ke tingkat banding dan dari tingkat pertama ke kasasi ketika
jaksa mengajukan kasasi saat terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan mengenai
mekanisme pelimpahan berkas dalam ke tingkat banding dan kasasi menggunakan
mekanisme KUHAP.
2. Prosedur Pembuktian
2. Prosedur Pembuktian
Prosedur pembuktian dalam pengadilan
HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang
pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian
terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses
kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran
HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya
terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan
terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.
Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu
pada alat bukti yang sesuai dengan KUHAP yaitu pasal 184. Hal-hal yang dapat
dijadikan alat bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak memadai jika dikomparasikan
dengan praktek peradilan internasional. Pengalaman-pengalaman internasional
yang menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan
alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya rekaman, baik itu yang
berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban,
wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat
bukti yang dipakai juga diperbolehkan berbentuk dokumen-dokumen salinan,
kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus yang
disidangkan.
d. Ketentuan Pemidanaan (Penal Codes)
Ketentuan
pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 26
Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan
ketentuan pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif
untuk menjamin bahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan
mendapatkan hukuman yang ringan.
Pasal
36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengan
ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini
sama dengan kejahatan yang diatur dalam pasal 9 (tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan) huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d (pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa), atau j (kejahatan apartheid).
Bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yaitu perbudakan diancam dengan pidana
selama-lamanya 15 tahun dan paling singkat 5 tahun (ps 38). Demikian pula
dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang berupa penyiksaan diancan hukuman paling lama 15 tahun dan peling rendah 5
tahun (ps 39). Kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa perkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, kemandulan atau sterilisasi
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara diancam
pidana selama-lamanya 20 tahun dan serendah-rendahnya selama 10 tahun (ps 40).
Pasal
41 mengatur khusus mengenai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat
berupa percobaan dan ikut serta berupa permufakatan jahat atau pembantuan
terhadap terlaksanya pelanggaran HAM berat, ancaman hukumannya dipersamakan
dengan ketentuan pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. ketentuan ini mengindikasikan
bahwa apapun peranan pelaku baik karena percobaan pelanggaran HAM berat, ikut
serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan pelanggaran HAM berat maupun
pembantuan terhadap terlaksananya pelanggaran HAM berat tidak ada pengaturan
pengecualian terhadap mereka karena ancamannya dipersamakan.
Ketentuan
pemidaan yang dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38 , 39 dan 40 adalah
untuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang komandan dari militer, polisi
maupun sipil seperti yang diatur dalam pasal 42 ayat 3 UU No. 26 Tahun 2000.
e.
Delik tanggung jawab komando
Delik
tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang
membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung jawab komando
yaitu :
1. Unsur Militer
Diatur dalam ayat 1 yang menentukan Komandan militer atau
seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi
Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan
pengendalian pasukan secara patut.
2. Unsur Polisi Atau Sipil
Dalam ayat 2 yang menentukan seorang atasan,
baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang
berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan
tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan
benar.
Konsep
tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun
2000 ini. pengertian tanggung jawab komando dalam pasal 42 ayat 1 menyatakan :
“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif.
“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif.
Pengertian
di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau
“harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam
kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah
sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan
pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung
ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum
harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk
mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.
Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.
Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.
Distorsi ini berarti mengabaikan
adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan
kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan
perbuatan tersebut, ” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang
apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando.
4. Pengadilan Ham Ad Hoc
Pengadilan
HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26
Tahun 2000. Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang
dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat
yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok
dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.
Sampai
saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan
bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan
secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum
juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM
di Timor-timur ini.
Legitimasi
atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000.
Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum
diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad
hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa
tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam
penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan
dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya
pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti
tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Ketentuan
tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap
kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa.
Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1. Adanya dugaan pelanggaran HAM yang
berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
2. Adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3. Adanya rekomendasi DPR kepada
pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempus dan locus
delicti tertentu.
4. Adanya keputusan presiden (keppres)
untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.
Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur
secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses
perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari
Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM
ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa
mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan
ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan
diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan
rekomendasi. Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.
Dari
proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah
adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR
sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk
mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat
dimasa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa
politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya ketentuan
ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM
ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat
di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari DPR.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
HAM
adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu
kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur
dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM
baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan
suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
3.2 SARAN
Sebagai
makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang
lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM
kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam
menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita
dengan HAM orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Tim
ICCE UIN Jakart. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta
: The Asia Foundation dan Prenada Media.
Rahman, Lailur. 2010. Hak Asasi Manusia Dalam Pancasila. Tersedia
online di http://ilulcreative.wordpress.com/2010/10/05/makalah-hak-asasi-manusia-dalam-pancasila/
diakses pada tanggal 26 juni 2011.
diakses pada tanggal 26 juni 2011.
Nurna. 2008. Makalah PPKN Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Artikel. Tersedia
online di
http://www.anakciremai.com/2008/04/makalah-ppkn-tentang-hak-azasi-manusia.html.
diakses pada tanggal 26 juni 2011.
diakses pada tanggal 26 juni 2011.
Hatsuke. 2009. Hak Asasi Manusia. Artikel. Tersedia
online di http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/hak-asasi-manusia.html. Diakses pada tanggal 26 juni
2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar