Rabu, 13 Februari 2013

Perspektif Dan Paradigma Kriminologi Tentang Pelaku Kejahatan (makalah Kriminologi)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau zaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam pembahasan mengenai asal-usul tingkah laku kriminal dan dalam pertimbangan mengenai faktor mana yang memegang peran, utamanya di antara faktor keturunan atau faktor lingkungan, kriminologi tersebut menarik kesimpulan bahwa, kriminalitas manusia normal adalah akibat, baik dari faktor keturunan maupun dari faktor lingkungan, dimana kadang-kadang dari faktor keturunan dan kadang-kadang pula faktor lingkungan memegang peran utama, dan di mana kedua faktor itu juga dapat saling mempengaruhi.
Secara garis besarnya, bahwa faktor keturunan dan faktor lingkungan masing-masing bukan satu faktor saja melainkan suatu gabungan faktor, dan bahwa gabungan faktor ini senantiasa saling mempengaruhi di dalam interaksi sosial orang dengan lingkungannya.
Jadi, seorang manusia normal bukan ditentukan sejak lahir untuk menjadi kriminal oleh faktor pembawaannya yang dalam saling berpengaruh dengan lingkungannya menimbulkan tingkah laku kriminal, melainkan faktor-faktor yang terlibat dengan iteraksi lingkungan sosial itulah yang memberikan pengaruhnya bahwa ia betul-betul menjadi kriminal dalam pengaruh-pengaruh lingkungan yang memudahkannya itu.
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengaruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif dan paradigma kriminologi tentang pelaku kejahatan?
2. Apa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan?




1.3 Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan di atas maka tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Tujuan
·         Mempelajari dan memahami mengenai perspektif kriminologi tentang pelaku kejahatan.
·         Mempelajari dan memahami apa sebab-sebab orang melakukan kejahatan.
2. Manfaat.
·         Manfaat  dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum dengan mencoba lebih mengetahui tentang kriminologi.

1.4. Metode Pembahasan
·         Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada ruang lingkup KRIMINOLOGI.
·         Metode Pembahasan makalah ini, yaitu Pembahasan yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang dibahas.

.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kriminologi dan Aliran-Aliran Pemikiran dalam Kriminologi
ü  Beberapa pengertian kriminologi menurut para ahli.
·         Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Kata kriminologis pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata “crime” yang berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan.
·         P. Topinard (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001: 5), mendefinisikan “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologis teoritis atau kriminologis murni). Kriminologis teoritis adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada padanya.”
·         Edwin H. Sutherland (J. E. Sahetapy, 1992: 5), mendefinisikan kriminologi bahwa “Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomena (Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial).”
·         Paul Moedigdo Moeliono (Soedjono D, 1976: 24), merumuskan “Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia.”
·         Dari kedua defenisi di atas dapat dilihat perbedaan pendapat antara Sutherland dan Paul Moedigdo Moelino, keduanya mempunyai defenisi yang bertolak belakang. Dimana defenisi Sutherland menggambarkan terjadinya kejahatan karena perbuatan yang ditentang masyarakat, sedangkan defenisi Paul Moedigdo Moeliono menggambarkan terjadinya kejahatan karena adanya dorongan pelaku untuk melakukan kejahatan.
·         Soedjono D, (1976: 24), mendefinisikan kriminologi “sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan dari berbagai ilmu pengetahuan.”
·         Dari defenisi Soedjono di atas dapat disimpulkan bahwa kriminologi bukan saja ilmu yang mempelajari tentang kejahatan dalam arti sempit, tetapi kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab-sebab kejahatan dan akibatnya, cara-cara memperbaiki pelaku kejahatan dan cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.
·         J. Constant memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.”
·         WME. Noach  memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya.”
·         W. A. Bonger memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.

ü  Aliran-aliran pemikiran dalam kriminologi
Mengenai Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis menulis). Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis, intelectualistis dan voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan. Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.
Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional, dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia.Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal. Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam pengertian manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.
Munculnya aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan jawaban-jawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap apa yang disebut dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi. Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa yang disjikan oleh kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan ;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat.
Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.
Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.

2.2 Perspektif Dan Paradigm Kriminologi Tentang Pelaku Kejahatan
Perspektif adalah susunan pengertian-pengertian atau makna secara sistematis tentang objek dan kejadian, di mana perspektif ini mempengaruhi pengertian kita dalam melihat dunia dan masalah-masalah di dalamnya. Perspektif merupakan suatu sudut pandang kita dalam melihat realita yang ada sehingga perspektif memiliki cakupan ruang yang begitu luas. Dan dalam melihat realita ini, akan timbul suatu pertanyaan mengenai kebenaran dari realita tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu usaha untuk melakukan suatu penelusuran dan pencarian kebenaran (scientific inquiry).
Penelusuran dan pencarian kebenaran dari suatu realita yang memiliki sifat-sifat ilmiah ini akan membentuk suatu perangkat pengertian-pengertian yang disebut sebagai paradigma. Berbeda dengan perspektif, paradigma memiliki cakupan ruang yang lebih sempit dan lebih khusus yang dianggap sebagai hasil dari studi suatu kategori khusus gejala sosial (reaksi-reaksi sosial). Oleh karena itu, paradigma lebih bersifat mendalam dan lebih bersifat teknis tentang suatu gejala tertentu. Meskipun memiliki intisari yang berbeda, perspektif dan paradigma memiliki suatu persamaan dalam hal memperhatikan dan memelihara prinsipnya, yakni dasar-dasar yang akan mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan yang akan ditarik dan penemuan baru yang akan dibuat. Keduanya sama-sama memiliki fokus perhatian dalam menentukan masalah dan pencarian solusi.
Pemahaman kita dalam kehidupan sehari-hari mengenai kejahatan dipengaruhi oleh perspektif-perspektif yang menerangkan sifat-sifat umum dari suatu organisasi kemasyarakatan, terutama dalam hal hubungan antara hukum dengan masyarakat. Dalam penelusuran dan pencarian kebenaran tentang kejahatan itu, seorang pakar kriminologi dipengaruhi oleh paradigma-paradigma yang memperinci fokus dan metode yang tepat bagi kriminologi, di mana penggunaan teori-teori kriminologi sebagai landasan harus dibarengi dengan pemahaman tentang perspektif dan paradigma yang mempengaruhinya.
Simecca dan Lee (dikutip daro Robert F. Mejer, 1977, p. 21) [3] memaparkan bahwa terdapat tiga perspektif dan paradigma tentang hubungan hukum dan organisasi kemasyarakatan. Tiga perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Tiga perspektif ini merupakan suatu keseimbangan yang bergerak dari konservatif menuju liberal dan akhirnya ke sebuah perspektif radikal. Selain itu terdapat tiga paradigma yang digunakan dalam memahami gejala-gejala (reaksi sosial), yaitu Paradigma Positivis, Interaksionis, dan Sosialis. Keterkaitan antara ketiga perspektif dan paradigma tersebut sangat erat, dan secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:

PERSPEKTIF
KONSENSUS (Conservative)
PLURALIS
(Liberal)
KONFLIK
(Radikal)
PARADIGMA
POSITIVIS
INTERAKSIONIS
SOSIALIS
Perspektif Konsensus beranjak dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat (Amerika Serikat). Praduga dasar dari perspektif ini adalah masyarakat yang dianggap relative stabil dan terintegrasi dengan baik. Struktur sosial dilandas oleh kesepakatan atas nilai-nilai: (1) hukum adalah kehendak masyarakat, (2) hukum memberikan layanan yang adil, (3) suatu pelanggaran hukum mencerminkan keunikan. Dalam perspektif ini, hukum dianggap sebagai kesepakatan umum yang dianut oleh masyarakat, dan pelaku kejahatan adalah yang melanggar kesepakatan umum tersebut. Pasangan dari perspektif Konsensus adalah Paradigma Positivis yang menekankan ketertiban kehidupan sosial dan kejahatan sebagai hasil dari hubungan suatu sebab-akibat yang kemudian menimbulkan “hukum alam” yang mengatur tingkah laku manusia. Hubungan sebab akibat ini dapat diketahui melalui suatu penelitian dengan metode ilmiah. Dengan mengetahui dan memahami tingkah laku pelaku kejahatan, tingkah laku kejahatan dapat diprediksi dan pelaku kejahatan dapat dibina.
Perspektif Pluralis adalah suatu pandangan yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan kelompok dan juga perbedaan-perbedaan nilai dan kepentingan. Perbedaan antara suatu kelompok sosial dengan kelompok yang lainnya terletak pada sengketa tentang benar dan tidak benar.  Oleh karena itu, hukum muncul sebagai suatu bentuk penyelesaian masalah dari sengketa tersebut. Dalam perspektif ini, sistem hukum bertugas untuk melindungi kepentingan masyarakat banyak. Pasangan dari perspektif ini adalah Paradigma Interaksionis, yang menitikberatkan pada keragaman psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini beranggapan bahwa tingkah laku kejahatan merupakan suatu kualitas yang diberikan oleh masyarakat dan merupakan reaksi dari pihak pengamat (masyarakat) terhadap tingkah laku individu tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya proses pemberian “cap” pada individu yang melakukan suatu perbuatan tersebut (dicap sebagai penjahat). Ada kecenderungan bahwa seseorang yang diberi cap sebagai penjahat akan bertingkah laku sebagaimana cap itu diberikan.
Sama halnya dengan perspektif pluralis, perspektif konflik juga mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam struktur sosial. Akan tetapi perbedaan-perbedaan tersebut memunculkan suatu konflik kekuasaan. Hukum berfungsi untuk kepentingan penguasa, yaitu mempertahankan kekuasaannya. Dalam perspektif ini, hukum bergerak karena adanya daya paksa dari system hukum yang dilaksanakan pihak penguasa terhadap kelas rendah. Penjahat dianggap sebagai orang atau kelompok yang melakukan suatu tingkah laku yang bertentangan dengan kehendak dan kepentingan penguasa. Paradigma yang berpasangan dengan perspektif ini adalah Paradigma Sosialis, di mana paradigma ini memandang bahwa konflik yang menjadi persoalan dalam organisasi kemasyarakatan bersumber pada sistem ekonomi kapitalis. Tingkah laku kejahatan merupakan suatu tingkah laku yang mengganggu kestabilan ekonomi yang telah dikuasai oleh kelompok dominan (mereka yang memiliki kuasa terhadap alat produksi). Hukum digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan yang didapat dari penguasaan sistem ekonomi tersebut.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Seseorang Melakukan Kejahatan
                               I.            Menurut Gruhle factor-faktor seseorang melakukan kejahatan dibagi menjadi:
a.       Penjahat karena kecenderungan (bukan bakat):
·         Aktif: mereka yang mempunyai kehendak untuk berbuat jahat
·         Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.
b.      Penjahat karena kelemahan
Mereka yang baik karena situasi sulit, keadaan darurat maupun keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan karena tidak punya daya tahan dalam dirinya untuk tidak berbuat jahat.
c.       Penjahat Karena hati panas.
Mereka yang karena pengaruh sesuatu tidak dapat mengendalikan dirinya juga karena putus asa lalu berbuat jahat.
d.      Penjahat karena keyakinan.
Mereka yang menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma yang berlaku di dalam masyarakat.

                            II.            Capeli membagi penjahat menurut faktor terjadinya kejahatan yaitu:
a.       Karena faktor psikopatologik:
·         Orang-orang yang kurang waras, gila.
·         Orang yang secara psikis tidak normal, tetapi tidak gila.
b.      Karena faktor organis:
·         Orang-orang yang karena menderita gangguan fisik pada waktu telah cukup umur, seperti mereka yang menjadi tua, berbagai macam cacat.
·         Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.
c.       Karena faktor sosial:
·         Penjahat kebiasaan.
·         Penjahat karena kesempatan (karena keadaan/desakan ekonomi atau fisik).
·         Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih serius
·         Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan).


                         III.            Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:

a. Delinkuen professional karena malas bekerja.
Mereka melakukan delik berulang-ulang, seperti orang melakukan pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya mencolok, cara hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur.
b. Delinkuen terhadap harta benda karena daya tahan lemah.
Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll
c. Delinkuen karena dorongan agresi.
Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini menunjukkan kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka.
d. Delinkuen karena tidak dapat menahan dorongan seksual.
Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya daya tahan.
e. Delinkuen karena krisis.
Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:
·         Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua).
·         Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan.
·         Karena krisis diri sendiri.
f. Delinkuen karena reaksi primitive.
Mereka yang berusaha melepaskan tekanan jiwanya dengan cara yang tidak disadari dan seringkali bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau terbentuk sedikit demi sedikit dan terakumulasi, dan pelepasannya pada umumnya tidak terduga.


h. Delinkuen karena keyakinan.
Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok lain. Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan delinkuen karena keyakinan.
g. Delinkuen karena tidak punya disiplin kemasyarakatan.
Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang oleh pembuat undang-undang diatur guna melindungi kepentingan umum.

2.4 Penyebab-Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu:
ü  Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku.
ü  Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri.
ü  Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.

Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya bahwa ada hubungan langsung antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan statistik dalam penelitian. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji dan upah, pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan juga agama. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk mengetahui pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku untuk melakukan sebuah tindak pidana. Biasanya penelitian dilakukan dengan cara statistik yang disebut dengan ciminostatistical investigation.
Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakat itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitas telah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat psikis dan bakat ragawi.


Untuk mendapatkan bukti pengaruh pembawaan dalam kriminalitas, berbagai macam penelitian telah dilakukan dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara lain:
ü  Criminal family, penyelidikan dilakukan terhadap keluarga penjahat secara vertical dari satu keturunan ke keturunan yang lain.
ü  Statistical family, penyelidikan sejarah keluarga golongan besar penjahat secara horizontal untuk mendapatkan data tentang faktor pembawaan sebagai keseluruhan.
ü  Study of twins, penyelidikan terhadap orang kembar.

Setiap orang, sedikit atau banyak memiliki bakat kriminal, dan bilamana orang itu dalam lingkungan yang cukup kuat untuk berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang itu pasti akan terlibat dalam kriminalitas. Hubungan antara pengaruh pembawaan dan lingkungan pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan penyakit-penyakit mental dengan diagram sebagai berikut: Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun juga dapat 100 persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang paling banyak adalah sebagai gabungan faktor pribadi dan faktor sosial yang bersama-sama berjumlah 100 persen.

Seelig membagi hubungan bakat lingkungan kejahatan sebagai berikut:
ü  Sementara orang, oleh karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah melakukan delik.
ü  Lebih banyak orang yang karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang kuat, melakukan delik.
ü  Sangat sedikit orang karena pengaruh dari luar yang cukupan saja, melakukan delik.
ü  Sebagian besar orang lebih dari 50 persen, dengan bakatnya, walaupun berada di dalam lingkungan yang kurang baik dan cukup kuat, tidak ,menjadi kriminal.
Sauer berpendapat bahwa pertentangan bakat-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, dan bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-sama dapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis dan sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam maupun masyarakat, dan baik itu merupakan syarat ataupun merupakan gejala yang mengiringinya, pelaku itu melakukan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak.
Noach mengatakan kriminalitas yang terjadi pada orang normal merupakan akibat dari bakat dan lingkungan, yang pada suatu ketika hanya salah satu faktor saja, pada waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang kedua-duanya mungkin saling berpengaruh.

Sutherland mengawali penjelasannya tentang teori sosiologis dengan menunjukkan dua prosedur yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan teori sebab musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah abstraksi logis, penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt berkaitan dengan patologi sosial dan patologi pribadi. Dan yang kedua diferensiasi tingkat analisis yang artinya dalam menganalisis penyebab kejahatan haruslah diketahui pada tingkat tertentu yang mana.
Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah dapat dilakukan dalam hubungan dengan:
ü  Proses yang terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis).
ü  Proses yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik).
Proses seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
ü  Perilaku kriminal itu dipelajari.
ü  Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain di dalam proses komunikasi.
ü  Inti dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok pribadi yang intim.
ü  Dalam mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari meliputi:
·         Teknik melakukan kejahatan.
·         Arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap.
·         Arah kasus dari motif dan dorongan dipelajari dari batasan-batasan hukum.
Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi sikap yang merasa tidak menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
ü  Seorang individu mendapat pengaruh hanya dari satu macam kelompok.
ü  Seorang individu mendapat pengaruh dari dua kelompok.
ü  Differential association mungkin bervariasi dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya.
ü  Proses belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan pola kriminal dan anti-kriminal semua mekanisme atau cara belajar pada hal-hal yang lain.
ü  Perilaku merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini tidak dipakai untuk alasan, karena perilaku non-kriminal pun juga merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai.
ü  Mengenai pengaruh individu dan kelompok, bila meninjau kemungkinan lebih.



THORSTEN SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma dari tatanan budaya yang berbeda mungkin terjadi karena:
ü  Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yang berbatasan.
ü  Dalam hal norma hkum, hukum dari suatu kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah kelompok budaya yang lain.
ü  Anggota dari kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yang lain.

Kecenderungan dalam teori sosiologi untuk memberikan nama kepada struktur sosial yang berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi oleh kontrol sosial. Sikap koformis implikasinya adalah sebagai akibat dari pemikiran dan perhitungan akan kebutuhan atau karena alasan yang tidak diketahui. Tokohnya adalah MERTON yang mencoba mencari bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan bersifat non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan struktur sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan, maksud dan kepentingan budaya yang telah bersama-sama ditentukan. Hal ini meliputi aspirasi budaya, yang oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok” (designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara” sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya. Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:
ü  Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yang terdapat dalam sistem social.
ü  Aspek disorganisasi social.
ü  Aspek ketiadaan norma.
ü  Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di dalam kebudayaan induk
(dominan culture).




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Dalam menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil yang maksimal akan dicapai apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang akan digunakan. Penentuan perspektif ini kemudian memberikan patokan kepada kita dalam usaha penelusuran dan pencarian kebenaran terhadap realita yang ada di dalam masyarakat (kejahatan dan penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial masyarakat). Karena itu dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan menuntun ke arah fokus perhatian suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat dikaji secara mendalam.
3.2 Saran
Dari uraian diatas penulis ingin memberikan saran kepada segenap lapisan masyarakat untuk melakukan social control terhadap setiap penyimpangan yang terjadi di masyarakat baik yang bersifat asusila maupun criminalitas karena dengan adanya pengawasan dari masyarakat kita berharap nantinya dapat berkuranglah kejahatan di masyarakat .










DAFTAR PUSTAKA

            Damang .2011. Pengertian Kriminologi. Artikel. http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kriminologi.html (diakses pada tanggal 16 Mei 2012)
            Regar, Tomy. 2011. Anak hukum medan. Makalah. http://tommyregar.blogspot.com/2011/11/makalah-kriminologi.html (diakses pada tanggal 19 Mei 2012).
            Wirawan, Adhi. 2010.  bangkitlah indonesiaku. Makalah. http://wwwadhywirawan.blogspot.com/2010/01/makalah-kriminologi-tentang-pelaku.html
( diakses pada tanggal 19 april 2012).
Zikri, Manshur. 2010. Perspektif Dan Paradigma Dalam Kriminologi Dan Kesesuaiannya Dengan Teori-Teori Kriminologi.

Sumber lain:
Makalah.http://manshurzikri.wordpress.com/2010/11/07/makalah-teori-kriminologi-perspektif-dan-paradigma-dalam-kriminologi-dan-kesesuaiannya-dengan-teori-teori-kriminologi/ (diakses pada tanggal 16 mei 2012).





2 komentar:

  1. terimakasih abang marada bagus sekali makalahnya , Tuhan Memberkati

    BalasHapus
  2. artikel yg mudah dipahami
    sangat membantu untuk kuliah saya
    terimakasih dan semoga sukses selalu

    BalasHapus