BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kriminologi
sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan
dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus
mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang
lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau zaman tertentu dengan waktu
atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan
juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan
mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi
di dalamnya.
Berkembangnya
studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia memberikan
dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap hubungan
antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif
mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada
pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik
kejahatan, asal mula hukum serta dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan
hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20,
karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan
karaktersitik suatu kejahatan. Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa
pandangan atau perspektif seseorang terhadap hubungan antara hukum dan
masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam penyelidikan-penyelidikan
yang bersifat kriminologis.
Dalam
pembahasan mengenai asal-usul tingkah laku kriminal dan dalam pertimbangan
mengenai faktor mana yang memegang peran, utamanya di antara faktor keturunan
atau faktor lingkungan, kriminologi tersebut menarik kesimpulan bahwa,
kriminalitas manusia normal adalah akibat, baik dari faktor keturunan maupun
dari faktor lingkungan, dimana kadang-kadang dari faktor keturunan dan
kadang-kadang pula faktor lingkungan memegang peran utama, dan di mana kedua
faktor itu juga dapat saling mempengaruhi.
Secara
garis besarnya, bahwa faktor keturunan dan faktor lingkungan masing-masing
bukan satu faktor saja melainkan suatu gabungan faktor, dan bahwa gabungan
faktor ini senantiasa saling mempengaruhi di dalam interaksi sosial orang
dengan lingkungannya.
Jadi,
seorang manusia normal bukan ditentukan sejak lahir untuk menjadi kriminal oleh
faktor pembawaannya yang dalam saling berpengaruh dengan lingkungannya
menimbulkan tingkah laku kriminal, melainkan faktor-faktor yang terlibat dengan
iteraksi lingkungan sosial itulah yang memberikan pengaruhnya bahwa ia
betul-betul menjadi kriminal dalam pengaruh-pengaruh lingkungan yang
memudahkannya itu.
Kejahatan
merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak
Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan
persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana
ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”.
Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun
sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini.
Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan
dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum
semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak
dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal)
tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka
macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan
dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas
jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada
gilirannya berpengaruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya
relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta
siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang
berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang
tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif,
ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se
adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan
kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan
sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam
Undang-undang.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
diatas penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana perspektif dan paradigma kriminologi tentang pelaku kejahatan?
2.
Apa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan?
1.3
Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan di
atas maka tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Tujuan
·
Mempelajari dan memahami mengenai perspektif
kriminologi tentang pelaku kejahatan.
·
Mempelajari dan memahami apa sebab-sebab
orang melakukan kejahatan.
2.
Manfaat.
·
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memberikan kontribusi pemikiran terhadap ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang hukum dengan mencoba lebih mengetahui tentang kriminologi.
1.4.
Metode Pembahasan
·
Agar
masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan
tujuan dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi
masalah hanya pada ruang lingkup KRIMINOLOGI.
·
Metode
Pembahasan makalah ini, yaitu Pembahasan yang dilakukan melalui kepustakaan,
mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang
ada hubungannya dengan masalah-masalah yang dibahas.
.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kriminologi dan Aliran-Aliran Pemikiran dalam Kriminologi
ü Beberapa
pengertian kriminologi menurut para ahli.
·
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Kata kriminologis pertama kali dikemukakan
oleh P. Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi Perancis.
Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata “crime” yang
berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan,
maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan.
·
P. Topinard (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,
2001: 5), mendefinisikan “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologis teoritis atau
kriminologis murni). Kriminologis teoritis adalah ilmu pengetahuan yang
berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis,
memperhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala
tersebut dengan cara-cara yang ada padanya.”
·
Edwin H. Sutherland (J. E. Sahetapy, 1992: 5),
mendefinisikan kriminologi bahwa “Criminology is the body of knowledge
regarding delinquency and crime as social phenomena (Kriminologi adalah
kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai
gejala sosial).”
·
Paul Moedigdo Moeliono (Soedjono D, 1976: 24),
merumuskan “Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan
sebagai masalah manusia.”
·
Dari kedua defenisi di atas dapat dilihat
perbedaan pendapat antara Sutherland dan Paul Moedigdo Moelino, keduanya
mempunyai defenisi yang bertolak belakang. Dimana defenisi Sutherland
menggambarkan terjadinya kejahatan karena perbuatan yang ditentang masyarakat,
sedangkan defenisi Paul Moedigdo Moeliono menggambarkan terjadinya kejahatan
karena adanya dorongan pelaku untuk melakukan kejahatan.
·
Soedjono D, (1976: 24), mendefinisikan
kriminologi “sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan
dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun
sumbangan-sumbangan dari berbagai ilmu pengetahuan.”
·
Dari defenisi Soedjono di atas dapat disimpulkan
bahwa kriminologi bukan saja ilmu yang mempelajari tentang kejahatan dalam arti
sempit, tetapi kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab-sebab
kejahatan dan akibatnya, cara-cara memperbaiki pelaku kejahatan dan cara-cara
mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.
·
J. Constant memberikan defenisi “Kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi
sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.”
·
WME. Noach memberikan defenisi
“Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan
dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya.”
·
W. A. Bonger memberikan defenisi “Kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan
seluas-luasnya.
ü Aliran-aliran
pemikiran dalam kriminologi
Mengenai
Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga
Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan
kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab
ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis menulis).
Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis,
intelectualistis dan voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan
kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki
lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan.
Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang
punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.
Menurut
aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman
yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial
dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional,
dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu
menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang
mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat
adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata
terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia.Aliran positivis muncul
sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini
berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini
bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di
luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti
bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan
keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau
ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Lambroso, yang
dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas
mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa
penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus
misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau
ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun
mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini
pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila
menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau
atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian
muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi
yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial,
yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diffrential
opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai faktor
penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde,
Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di
atas kemudian menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat
menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif
aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya
aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan
sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah
redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai
radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif
dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya
kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori
Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada
dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan)
ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan
diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi,
perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas
perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya
peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena
itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari
penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori
ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian
oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan
Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi
radikal. Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam
pengertian manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang
sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan
kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan
stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif phenomenological
realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk menciptakan suatu masyarakat
di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal, organik dan sosial manusia
tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.
Munculnya
aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan
kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor
disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan
jawaban-jawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan
jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan
hanyalah terhadap apa yang disebut dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di
Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem peradilan pidana sehingga
kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang dilakukan oleh
mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya
aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks
paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan
Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi.
Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa
berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa
yang disjikan oleh kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal
yang menjadi sangat penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan
tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan ;di samping
kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan
kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang
diketahui, dilaporkan dan dicatat.
Pada
intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan
data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog
Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan
aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai
praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi
kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna
memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam
masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya
penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya.
Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku
menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang
berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan
rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang
menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.
Ini
kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru
melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional
yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan
atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang
diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional,
namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan
dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan
pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam
dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll,
yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu
masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban
kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk
mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip
egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif.
Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini
bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini
tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling
yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa
argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya
kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
2.2 Perspektif
Dan Paradigm Kriminologi Tentang Pelaku Kejahatan
Perspektif
adalah susunan pengertian-pengertian atau makna secara sistematis tentang objek
dan kejadian, di mana perspektif ini mempengaruhi pengertian kita dalam melihat
dunia dan masalah-masalah di dalamnya. Perspektif merupakan suatu sudut pandang
kita dalam melihat realita yang ada sehingga perspektif memiliki cakupan ruang
yang begitu luas. Dan dalam melihat realita ini, akan timbul suatu pertanyaan
mengenai kebenaran dari realita tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
usaha untuk melakukan suatu penelusuran dan pencarian kebenaran (scientific
inquiry).
Penelusuran
dan pencarian kebenaran dari suatu realita yang memiliki sifat-sifat ilmiah ini
akan membentuk suatu perangkat pengertian-pengertian yang disebut sebagai
paradigma. Berbeda dengan perspektif, paradigma memiliki cakupan ruang yang
lebih sempit dan lebih khusus yang dianggap sebagai hasil dari studi suatu
kategori khusus gejala sosial (reaksi-reaksi sosial). Oleh karena itu,
paradigma lebih bersifat mendalam dan lebih bersifat teknis tentang suatu
gejala tertentu. Meskipun memiliki intisari yang berbeda, perspektif dan
paradigma memiliki suatu persamaan dalam hal memperhatikan dan memelihara
prinsipnya, yakni dasar-dasar yang akan mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan yang
akan ditarik dan penemuan baru yang akan dibuat. Keduanya sama-sama memiliki
fokus perhatian dalam menentukan masalah dan pencarian solusi.
Pemahaman
kita dalam kehidupan sehari-hari mengenai kejahatan dipengaruhi oleh
perspektif-perspektif yang menerangkan sifat-sifat umum dari suatu organisasi
kemasyarakatan, terutama dalam hal hubungan antara hukum dengan masyarakat.
Dalam penelusuran dan pencarian kebenaran tentang kejahatan itu, seorang pakar
kriminologi dipengaruhi oleh paradigma-paradigma yang memperinci fokus dan
metode yang tepat bagi kriminologi, di mana penggunaan teori-teori kriminologi
sebagai landasan harus dibarengi dengan pemahaman tentang perspektif dan
paradigma yang mempengaruhinya.
Simecca dan
Lee (dikutip daro Robert F. Mejer, 1977, p. 21) [3] memaparkan bahwa
terdapat tiga perspektif dan paradigma tentang hubungan hukum dan organisasi
kemasyarakatan. Tiga perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan
Konflik. Tiga perspektif ini merupakan suatu keseimbangan yang bergerak dari
konservatif menuju liberal dan akhirnya ke sebuah perspektif radikal. Selain
itu terdapat tiga paradigma yang digunakan dalam memahami gejala-gejala (reaksi
sosial), yaitu Paradigma Positivis, Interaksionis, dan Sosialis. Keterkaitan
antara ketiga perspektif dan paradigma tersebut sangat erat, dan secara
skematik dapat digambarkan sebagai berikut:
PERSPEKTIF
|
KONSENSUS (Conservative)
|
PLURALIS
(Liberal) |
KONFLIK
(Radikal) |
PARADIGMA
|
POSITIVIS
|
INTERAKSIONIS
|
SOSIALIS
|
Perspektif
Konsensus beranjak dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat
(Amerika Serikat). Praduga dasar dari perspektif ini adalah masyarakat yang
dianggap relative stabil dan terintegrasi dengan baik. Struktur sosial dilandas
oleh kesepakatan atas nilai-nilai: (1) hukum adalah kehendak masyarakat, (2)
hukum memberikan layanan yang adil, (3) suatu pelanggaran hukum mencerminkan
keunikan. Dalam perspektif ini, hukum dianggap sebagai kesepakatan umum yang
dianut oleh masyarakat, dan pelaku kejahatan adalah yang melanggar kesepakatan
umum tersebut. Pasangan dari perspektif Konsensus adalah Paradigma Positivis
yang menekankan ketertiban kehidupan sosial dan kejahatan sebagai hasil dari
hubungan suatu sebab-akibat yang kemudian menimbulkan “hukum alam” yang
mengatur tingkah laku manusia. Hubungan sebab akibat ini dapat diketahui
melalui suatu penelitian dengan metode ilmiah. Dengan mengetahui dan memahami
tingkah laku pelaku kejahatan, tingkah laku kejahatan dapat diprediksi dan
pelaku kejahatan dapat dibina.
Perspektif
Pluralis adalah suatu pandangan yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan
kelompok dan juga perbedaan-perbedaan nilai dan kepentingan. Perbedaan antara
suatu kelompok sosial dengan kelompok yang lainnya terletak pada sengketa
tentang benar dan tidak benar. Oleh karena itu, hukum muncul sebagai
suatu bentuk penyelesaian masalah dari sengketa tersebut. Dalam perspektif ini,
sistem hukum bertugas untuk melindungi kepentingan masyarakat banyak. Pasangan
dari perspektif ini adalah Paradigma Interaksionis, yang menitikberatkan pada
keragaman psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini beranggapan
bahwa tingkah laku kejahatan merupakan suatu kualitas yang diberikan oleh
masyarakat dan merupakan reaksi dari pihak pengamat (masyarakat) terhadap
tingkah laku individu tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya proses pemberian
“cap” pada individu yang melakukan suatu perbuatan tersebut (dicap sebagai
penjahat). Ada kecenderungan bahwa seseorang yang diberi cap sebagai penjahat
akan bertingkah laku sebagaimana cap itu diberikan.
Sama halnya
dengan perspektif pluralis, perspektif konflik juga mengakui adanya
perbedaan-perbedaan dalam struktur sosial. Akan tetapi perbedaan-perbedaan
tersebut memunculkan suatu konflik kekuasaan. Hukum berfungsi untuk kepentingan
penguasa, yaitu mempertahankan kekuasaannya. Dalam perspektif ini, hukum
bergerak karena adanya daya paksa dari system hukum yang dilaksanakan pihak
penguasa terhadap kelas rendah. Penjahat dianggap sebagai orang atau kelompok
yang melakukan suatu tingkah laku yang bertentangan dengan kehendak dan
kepentingan penguasa. Paradigma yang berpasangan dengan perspektif ini adalah
Paradigma Sosialis, di mana paradigma ini memandang bahwa konflik yang menjadi
persoalan dalam organisasi kemasyarakatan bersumber pada sistem ekonomi
kapitalis. Tingkah laku kejahatan merupakan suatu tingkah laku yang mengganggu
kestabilan ekonomi yang telah dikuasai oleh kelompok dominan (mereka yang
memiliki kuasa terhadap alat produksi). Hukum digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan dan keuntungan yang didapat dari penguasaan sistem ekonomi tersebut.
2.3
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Seseorang Melakukan Kejahatan
I.
Menurut Gruhle factor-faktor seseorang
melakukan kejahatan dibagi menjadi:
a. Penjahat
karena kecenderungan (bukan bakat):
·
Aktif: mereka yang mempunyai kehendak
untuk berbuat jahat
·
Pasif: mereka yang tidak merasa
keberatan terhadap dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat
berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan
keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.
b. Penjahat
karena kelemahan
Mereka yang baik karena situasi sulit,
keadaan darurat maupun keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan, bukan
karena mereka berkemauan, melainkan karena tidak punya daya tahan dalam dirinya
untuk tidak berbuat jahat.
c. Penjahat
Karena hati panas.
Mereka yang karena pengaruh sesuatu
tidak dapat mengendalikan dirinya juga karena putus asa lalu berbuat jahat.
d. Penjahat
karena keyakinan.
Mereka yang menilai normanya sendiri
lebih tinggi daripada norma yang berlaku di dalam masyarakat.
II.
Capeli membagi penjahat menurut faktor
terjadinya kejahatan yaitu:
a. Karena
faktor psikopatologik:
·
Orang-orang yang kurang waras, gila.
·
Orang yang secara psikis tidak normal,
tetapi tidak gila.
b. Karena
faktor organis:
·
Orang-orang yang karena menderita
gangguan fisik pada waktu telah cukup umur, seperti mereka yang menjadi tua,
berbagai macam cacat.
·
Orang-orang yang menderita gangguan
fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan
pendidikan atau sosialisasi.
c. Karena
faktor sosial:
·
Penjahat kebiasaan.
·
Penjahat karena kesempatan (karena
keadaan/desakan ekonomi atau fisik).
·
Penjahat yang pertama-tama melakukan
kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya
meningkat ke arah kejahatan yang lebih serius
·
Pengikut serta kejahatan kelompok,
seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan).
III.
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau
delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena
peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa
dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis
(dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen
dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig
membagi penjahat menjadi:
a. Delinkuen professional karena malas
bekerja.
Mereka melakukan delik berulang-ulang,
seperti orang melakukan pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya mencolok,
cara hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur.
b. Delinkuen terhadap harta benda karena
daya tahan lemah.
Mereka biasanya melakukan pekerjaan
normal seperti orang kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada
harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang lemah,
mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh
pegawai administrasi, dll
c. Delinkuen karena dorongan agresi.
Mereka sangat mudah menjadi berang dan
melakukan perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini
menunjukkan kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman
keras sering terjadi diantara mereka.
d. Delinkuen karena tidak dapat menahan
dorongan seksual.
Mereka ini adalah yang tidak tahan
terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera,
karena kurangnya daya tahan.
e. Delinkuen karena krisis.
Mereka yang melihat bahwa tindak pidana
adalah sebagai jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:
·
Perubahan badani, perubahan yang
menimbulkan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua).
·
Kejadian luar yang tidak menguntungkan,
khususnya dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan.
·
Karena krisis diri sendiri.
f. Delinkuen karena reaksi primitive.
Mereka yang berusaha melepaskan tekanan
jiwanya dengan cara yang tidak disadari dan seringkali bertentangan dengan
kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan hukum pihak
lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau terbentuk sedikit demi sedikit
dan terakumulasi, dan pelepasannya pada umumnya tidak terduga.
h. Delinkuen karena keyakinan.
Seseorang melakukan tindak pidana karena
merasa ada kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar.
Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok lain.
Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan
delinkuen karena keyakinan.
g. Delinkuen karena tidak punya disiplin
kemasyarakatan.
Mereka yang tidak mau mengindahkan
hal-hal yang oleh pembuat undang-undang diatur guna melindungi kepentingan
umum.
2.4
Penyebab-Penyebab Kejahatan
Pada
umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu:
ü Pendapat
bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri
pelaku.
ü Pendapat
bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam
diri pelaku sendiri.
ü Pendapat
yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena pengaruh di
luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger, bakat
merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya
dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya bahwa ada hubungan
langsung antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada
perbandingan statistik dalam penelitian. Selain keadaan ekonomi, penyebab di
luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji dan upah, pengangguran, kondisi
tempat tinggal bobrok, bahkan juga agama. Banyak penelitian yang sudah dilakukan
untuk mengetahui pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku untuk melakukan
sebuah tindak pidana. Biasanya penelitian dilakukan dengan cara statistik yang
disebut dengan ciminostatistical investigation.
Bagi para penganut
aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka
berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si
pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk
ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakat itu diwariskan.
Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan
sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya jika
dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan
merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan
penyebab kriminalitas telah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat
bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat psikis dan
bakat ragawi.
Untuk mendapatkan bukti
pengaruh pembawaan dalam kriminalitas, berbagai macam penelitian telah
dilakukan dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara lain:
ü Criminal
family, penyelidikan dilakukan terhadap keluarga penjahat secara vertical dari satu
keturunan ke keturunan yang lain.
ü Statistical
family, penyelidikan sejarah keluarga golongan besar penjahat secara horizontal
untuk mendapatkan data tentang faktor pembawaan sebagai keseluruhan.
ü Study
of twins, penyelidikan terhadap orang kembar.
Setiap orang, sedikit
atau banyak memiliki bakat kriminal, dan bilamana orang itu dalam lingkungan
yang cukup kuat untuk berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang
itu pasti akan terlibat dalam kriminalitas. Hubungan antara pengaruh pembawaan dan
lingkungan pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan penyakit-penyakit
mental dengan diagram sebagai berikut: Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa
kriminalitas dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun juga
dapat 100 persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang paling banyak adalah
sebagai gabungan faktor pribadi dan faktor sosial yang bersama-sama berjumlah
100 persen.
Seelig
membagi hubungan bakat lingkungan kejahatan sebagai berikut:
ü Sementara
orang, oleh karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah
melakukan delik.
ü Lebih
banyak orang yang karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang kuat,
melakukan delik.
ü Sangat
sedikit orang karena pengaruh dari luar yang cukupan saja, melakukan delik.
ü Sebagian
besar orang lebih dari 50 persen, dengan bakatnya, walaupun berada di dalam
lingkungan yang kurang baik dan cukup kuat, tidak ,menjadi kriminal.
Sauer
berpendapat bahwa pertentangan bakat-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan,
dan bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-sama dapat menjadi
penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap
pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis dan sedikit atau banyak
dipengaruhi oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam maupun masyarakat,
dan baik itu merupakan syarat ataupun merupakan gejala yang mengiringinya,
pelaku itu melakukan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih
menyebutkan pula kehendak.
Noach
mengatakan kriminalitas yang terjadi pada orang normal merupakan akibat dari
bakat dan lingkungan, yang pada suatu ketika hanya salah satu faktor saja, pada
waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang kedua-duanya mungkin saling
berpengaruh.
Sutherland
mengawali penjelasannya tentang teori sosiologis dengan menunjukkan dua
prosedur yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan teori sebab
musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah abstraksi logis, penelitiannya
menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt berkaitan dengan patologi sosial
dan patologi pribadi. Dan yang kedua diferensiasi tingkat analisis yang artinya
dalam menganalisis penyebab kejahatan haruslah diketahui pada tingkat tertentu
yang mana.
Untuk
menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah dapat dilakukan dalam hubungan
dengan:
ü Proses
yang terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis).
ü Proses
yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik).
Proses
seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
ü Perilaku
kriminal itu dipelajari.
ü Perilaku
kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain di dalam proses
komunikasi.
ü Inti
dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok pribadi yang intim.
ü Dalam
mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari meliputi:
·
Teknik melakukan kejahatan.
·
Arah khusus dari motif, dorongan,
rasionalisasi, dan sikap.
·
Arah kasus dari motif dan dorongan
dipelajari dari batasan-batasan hukum.
Seseorang
menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi
sikap yang merasa tidak menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok
terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
ü Seorang
individu mendapat pengaruh hanya dari satu macam kelompok.
ü Seorang
individu mendapat pengaruh dari dua kelompok.
ü Differential
association mungkin bervariasi dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya, dan
intensitasnya.
ü Proses
belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan pola kriminal dan
anti-kriminal semua mekanisme atau cara belajar pada hal-hal yang lain.
ü Perilaku
merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini tidak dipakai untuk
alasan, karena perilaku non-kriminal pun juga merupakan ungkapan kebutuhan dan
nilai.
ü Mengenai
pengaruh individu dan kelompok, bila meninjau kemungkinan lebih.
THORSTEN
SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma dari tatanan budaya yang berbeda
mungkin terjadi karena:
ü Tatanan
ini berbenturan di daerah budaya yang berbatasan.
ü Dalam
hal norma hkum, hukum dari suatu kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah
kelompok budaya yang lain.
ü Anggota
dari kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yang lain.
Kecenderungan
dalam teori sosiologi untuk memberikan nama kepada struktur sosial yang
berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi
oleh kontrol sosial. Sikap koformis implikasinya adalah sebagai akibat dari
pemikiran dan perhitungan akan kebutuhan atau karena alasan yang tidak
diketahui. Tokohnya adalah MERTON yang mencoba mencari bagaimana struktur
sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan bersifat
non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan struktur
sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan, maksud dan
kepentingan budaya yang telah bersama-sama ditentukan. Hal ini meliputi
aspirasi budaya, yang oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok” (designs for
group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan mengendalikan
cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesesuaian
atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara” sangatlah perlu di dalam struktur
sosial, sebab tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua
hal tersebut akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam
struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi
dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan
yang diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya. Dr. J.E.
Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan
pada:
ü Aspek
konflik kebudayaan (Culture conflict) yang terdapat dalam sistem social.
ü Aspek
disorganisasi social.
ü Aspek
ketiadaan norma.
ü Aspek
sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di dalam kebudayaan induk
(dominan culture).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berbicara
tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan
mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada
di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan
menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa
yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Dalam
menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil yang maksimal akan dicapai
apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang akan digunakan. Penentuan perspektif
ini kemudian memberikan patokan kepada kita dalam usaha penelusuran dan
pencarian kebenaran terhadap realita yang ada di dalam masyarakat (kejahatan
dan penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial masyarakat). Karena itu
dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan menuntun ke arah fokus perhatian
suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat dikaji secara mendalam.
3.2
Saran
Dari
uraian diatas penulis ingin memberikan saran kepada segenap lapisan masyarakat
untuk melakukan social control terhadap setiap penyimpangan yang terjadi di
masyarakat baik yang bersifat asusila maupun criminalitas karena dengan adanya
pengawasan dari masyarakat kita berharap nantinya dapat berkuranglah kejahatan
di masyarakat .
DAFTAR
PUSTAKA
Damang .2011. Pengertian
Kriminologi. Artikel. http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kriminologi.html
(diakses pada tanggal 16 Mei 2012)
Regar, Tomy. 2011. Anak hukum medan. Makalah. http://tommyregar.blogspot.com/2011/11/makalah-kriminologi.html
(diakses pada tanggal 19 Mei 2012).
Wirawan, Adhi.
2010. bangkitlah indonesiaku. Makalah. http://wwwadhywirawan.blogspot.com/2010/01/makalah-kriminologi-tentang-pelaku.html
( diakses pada tanggal 19 april 2012).
Zikri,
Manshur. 2010. Perspektif Dan Paradigma Dalam Kriminologi Dan Kesesuaiannya
Dengan Teori-Teori Kriminologi.
Sumber
lain:
Makalah.http://manshurzikri.wordpress.com/2010/11/07/makalah-teori-kriminologi-perspektif-dan-paradigma-dalam-kriminologi-dan-kesesuaiannya-dengan-teori-teori-kriminologi/
(diakses pada tanggal 16 mei 2012).
terimakasih abang marada bagus sekali makalahnya , Tuhan Memberkati
BalasHapusartikel yg mudah dipahami
BalasHapussangat membantu untuk kuliah saya
terimakasih dan semoga sukses selalu