BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kehidupan
dalam masyarakat internasional senantiasa bertumpu pada suatu tatanan norma.
Pada kodratnya masyarakat internasional itu saling berhubungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan hubungan ini satu sama lain diperlukan
suatu kondisi, yaitu keadaan yang tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan
yang tertib dan aman ini diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan
norma tersebut telah berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan
Hukum Internasional Publik atau disingkat dengan Hukum Internasional saja.
Sebagai
suatu sistem hukum, Hukum Internasional mempunyai beberapa sumber, seperti yang
dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, bahwa bagi
Mahkamah Internasional yang tugasnya memberi keputusan sesuai dengan Hukum
Internasional untuk perselisihan yang diajukan kepadanya, akan berlaku:
1. Perjanjian-perjanjian
Internasional, baik yang umum maupun yang khusus, yang dengan tegas menyebut
ketentuan-ketentuan yang diakui oleh negara-negara yang berselisih.
2. Kebiasaan-kebiasaan
internasional yang terbukti merupakan praktek-praktek umum yang diterima
sebagai hukum.
3. Prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa.
4. Keputusan
pengadilan dan ajaran-ajaran Sarjana-sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan.
dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan.
Bahwa
urutan-urutan sumber hukum tersebut tiga dari sumber hukum pertama yaitu; 1, 2,
dan 3 merupakan sumber hukum utama sedangkan sumber hukum ke 4 merupakan sumber
hukum tambahan.
Dalam
Konperensi Wina tahun 1969 telah berhasil disepakati sebuah naskah perjanjian
yang lebih dikenal dengan nama “Viena Convention on the Law of Treaties” atau
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (selanjutnya disingkat sebagai
Konvensi Wina 1969). Konperensi Wina ini diadakan atas prakarsa Perserikatan
Bangsa-bangsa dan naskah rancangan konvensinya disusun oleh Panitia Hukum
Internasional/International Law Commission (yang disingkat dengan ILC), yaitu
sebuah Panitia ahli dan dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB
No.174/II/1947 (Wayan., Perjanjian.., 1981, ha;. 344).
Konvensi
Wina tentang perjanjian ini tidak hanya sekedar merumuskan kembali atau
mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional dalam bidang perjanjian, melainkan
juga merupakan pengembangan secara progresif hukum internasional tentang
perjanjian. Namun demikian Konvensi Wina ini masih tetap mengakui eksistensi
hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya tentang
persoalan-persoalan yang belum diatur dalam Konvensi Wina.
Perkembangan
sumber hukum internasional sampai pada akhir tahun 2008 sangat signifikan, hal
ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun
perkembangan sumber hukum internasional ini tetap menempatkan perjanjian
internasional, baik bilateral maupun multilateral sebagai sumber utama hukum
internasional.
Perkembangan
selanjutnya, ada beberapa praktek negara yang menggunakan istilah pensyaratan
dalam perjanjian bilateral. Praktek ini banyak dilakukan dalam perjanjian
bilateral yang melibatkan Amerika Serikat.
Kemudian
reservasi atau dikenal dengan pensyaratan dalam UU No.24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian internasional adalah suatu pernyataan sepihak dari suatu negara
untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian
internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima,
menyetujui atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat
multilateral.
Reservasi
atau pensyaratan memang lazim dilakukan dalam praktek perjanjian internasional.
Pensyaratan mencerminkan azas kedaulatan suatu negara, dimana suatu negara
memiliki hak untuk menolak ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian
internasional yang bertentangan dengan hukum nasional negara tersebut.
Penjanjian
(treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu bentuk kodifikasi
hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional. Proses kodifikasi biasanya
dilakukan dalam konvensi-konvensi internasional. Didalam konvensi biasanya
dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya sampai pelaksanaan isi perjanjian,
baik dengan cara ratifikasi atau aksesi bagi negara yang mau terikat hak dan
kewajibannya terhadap perjanjian. Seyogyanya isi perjanjian dilaksanakan secara
penuh agar tercapai kesempurnaan perjanjian itu sendiri, namun hal ini tentunya
sulit dicapai ketika melibatkan kepentingan setiap negara yang ikut dalam
konvensi. Kepentingan negara- negara yang berbeda inilah yang biasanya membuat
alok pada saat perumusan dan perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan
dilema bagi negara peserta konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itu
pada umumnya atau lebih banyak yang sesuai dengan kebutuhan (menguntungkan)
negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari perjanjian yang memang tidak
dibutuhkan (tidak menguntugkan) bagi negara tersebut ataupun bertentangan
dengan konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara mundur atau tidak
meratifikasi dan atau mengaksesi perjanjian maka suatu perjanjian dibuatkan
suatu pengecualian dalam bentuk RESERVASI atau di Indonesia lebih dikenal
dengan nama persyaratan.
Persyaratan
(reservasi) berlaku juga bagi negara ketiga yang ingin ikut serta dalam perjanjian
tetapi tidak ikut dalam konvensi. Persyaratan disini memberikan angin segar
bagi negara yang ingin terikat dalam perjanjian tapi tidak secara penuh
menerima semua ketentuan dalam perjanjian.
1.2
Permasalahan
Berdasarkan
uraian dari latar belakang masalah, rumusan masalah untuk makalah ini adalah:
1.
Seberapa besar pengaruh kedaulatan negara dalam menekan untuk lahirnya sebuah
Persyaratan, dan apakah instrumen dari persyaratan (reservasi)?
2. Apakah perbedaan reservation sistem suara bulat
dengan sistem pan Amerika?
Dan kasus reservation atas Konvensi
Genocide tahun 1951 (tentang pencegahan dan
penghukuman atas kejahatan genocide)?
1.3
Tujuan dan Kegunaan
1.
Manfaat:
·
Untuk dapat mengetahui seberapa besar
pengaruh reservasi dalam pembuatan hukum
perjanjian Intrnasional.
·
Untuk mengetahui perbedaan reservasi sistem
suara bulat dengan sistim pan Amerika.
2.
Tujuan:
·
Untuk lebih memahami reservasi
(persyaratan) berkenaan dengan tempatnya sebagai pranata hukum internasional
yang mengetengahkan antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu
sendiri
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Reservasi
Reservasi
adalah suatu pernyataan sepihak yang dibuat oleh suatu Negara pada waktu
menandatangani, menerima, meratifikasi, mengesahkan atau mengaksesi perjanjian,
yang isi pokoknya adalah untuk mengeluarkan atau untuk mengubah akibat hukum
dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam pemberlakuannya terhadap Negara
tersebut (KW 1969).
Awalnya
reservasi (persyaratan) didefinisikan berbeda-beda berdasarkan subyek yang
memberikan defenisi. Adapun defenisi bebas terhadap reservation yang secara
umum itu ialah pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh suatu negara pada waktu
menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yang
isinya menyatakan “Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat
pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa
ketentuan dari perjanjian tersebut, dan atau mengubah atau menyesuaikan isi
atau memberikan arti tersendiri atas salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian
tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang bersangkutan”, perbedaan
pendapat ini dimungkinkan kalau belum ada defenisi yang disepakati bersama.
Menurut
UU No.24 Tahun 2000 Pasal 1 (d), Reservasi adalah suatu perrnyataan sepihak
dari suatu Negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada
perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani,
menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat
multilateral.
Namun dengan lahirnya konvensi wina 1969
sebagai instrumen hukum perjanjian internasional, pengertian persyaratan telah
diterimah secara umum berdasarkan defenisi yang terdapat pada pasal 2 ayat 1
butir d “Persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun
yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi,
mengapksesi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional,
yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan
tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang
bersangkutan”. Dengan demikian substansi pasal 2 (1),d konvensi wina antara
lain adalah merupakan pernyataan sepihak, berkenaan dengan waktu pengajuan
persyaratan, dan berkenaan dengan substansi, maksud, dan tujuan dari
persyaratan itu sendiri, serta pengajuan persyaratan itu harus dalam bentuk
tertulis.
Dengan
adanya pengertian yang diberikan terhadap reservasi dalam konvensi wina berarti
pengertian bebas tadi dengan sendirinya ditinggalkan karena sifatnya yang relatif
demi terpenuhinya persamaan presfektif terhadap reservasi.
2.2 Pengaruh Kedaulatan
Negara dalam Menekan Untuk Lahirnya Sebuah Persyaratan,
dan Instrumen Dari Persyaratan (reservasi).
dan Instrumen Dari Persyaratan (reservasi).
Resevasi
seperti telah diuraikan diatas didasarkan pada pasal 2 ayat 1 bagian d konvensi
wina 1969 tentang perjanjian. Perjanjian merupakan manifestasi dari keinginan
negara- negara atas sebuah aturan internasional yang penerapannya tidak
bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya tidak mencederai kedaulatan
masing- masing negara. Kedaulatan merupakan salah satu unsur pembentuk negara
sehingga aturan hukum internasional diusahakan serelevan mungkin dengan aturan
hukum umum pada setiap negara didunia. Kedaulatan menurut kamus hukum
internasional dan indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo, SH, yang diterbitkan
Wacana Intelektual berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara,
daerah; kedaulatan suatu negara”, dengan mengacu pada defenisi diatas maka
suatu problem akan muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi
internasional, dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.
Kesadaran
bahwa dalam sistem dan struktur masyarakat internasional, negara-negara sebagai
subyek utama hukum internasional memiliki kedaulatan, dan dengan dasar
kedaulatan itu maka negara tidak bisa dipaksa untuk menerima atau menyatujui
sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu
perjanjian internasional, atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak
penuh untuk menentukan apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak
terikat pada suatu perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika
didalam perejanjian itu ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang
menguntungkan bagi negara, pilihannya adalah menyatujui untuk terikat atau
tidak sama sekali.
Pilihan
manapun yang ditempuh akan menimbulkan masalah lanjutan baik bagi negara itu
maupun bagi perjanjian itu sendiri, bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas akan
menimbulkan dampak tehadap masyarakat internasional pada umumnya, lebih- lebih
jika perjanjian itu merupakan perjanjian internasional multilateral global.
Masalah yang timbul bagi negara adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian
padahal sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya,
sebaliknya jika memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa
ketentuan yang merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada
pilihan yang sulit.
Selanjutnya
bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi perkembangan hukum
internasional dimana sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional
bila makin sedikit negara yang menyatakan setuju untuk terikat pada perjanjian
tersebut. Hal ini juga akan menghambat konsep ideal dari perjanjian itu pada
tatanan pelaksanaannya yang riil.
Bagi
masyarakat internasional secara umum, terhambatnya suatu perjanjian
internasional berkembang menjadi kaidah hukum positif berarti akan menghambat
lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional. Dengan dua
pilihan diatas tentunya akan sulit dipenuhi oleh negara- negara yang ikut dalam
perjanjian untuk terikat karena sifatnya yang terlalu ekstrim.
Untuk
mengakomodasi kepentingan tiap-tiap negara tanpa mengesampingkan kedaulatan
disatu sisi yang berseberangan dengan ketentuan dalam perjanjian, kemudian
diperkenalkan pranata hukum internasional yang disebut reservasi (persyaratan)
untuk menjembantani kedaulatan negara-negara dalam keterikatannya pada perjanjian
internasional dengan perjanjian itu sendiri. Hal ini membuat terang bahwa
persyaratan (reservasi) lahir dari sebuah jurang antara kedaulatan dan
ketentuan pada suatu perjanjian.
Mengenai
persyaratan instrumen positifnya diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 2
ayat 1 d “defenisi dari persyaratan”, dan diatur pula dalam lima pasal yaitu
pasal 19 “ mengenai ketentuan pengajuan suatu persyatan sampai pembatasannya
pada perjanjian internasional”, pasal 20” mengenai diterima atau ditolaknya
persyaratan yang diajukan suatu negara oleh negara peserta lainnya”, pasal 21”
diatur mengenai akibat hukum dari persyaratan”, pasal 22” diatur mengenai
penarikan kembali suatu persyaratan atau sebuah penolakan”, pasal 23”pada pasal
ini diatur mengenai prosedur persyaratan secara menyeluruh”. Dengan adanya
aturan yang jelas mengenai persyaratan akan memudahkan bagi negara peserta
konvensi atau negara ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan
mengecualikan beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu
sendiri.
Secara
umum perjanjian internasional yang didalamnya diikuti oleh negara sebagai
peserta berkiblat (atau instrumen hukumnya) pada ketentuan konvensi wina 1969
tentang perjanjian. Ketentuan dalam konvensi wina tegasnya terdapat 8 (delapan)
bagian yang terdiri dari 85 pasal, yang diharapkan dapat mengakomodasi
ketentuan hukum internasional bagi suatu perjanjian.
2.3 Perbedaan Reservasi
Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan Amerika, Dan kasus reservasi atas Konvensi Genoside tahun 1951 (tentangpencegahan
dan penghukuman atas kejahatan genoside).
Pada
masa awal lahirnya persyaratan sampai tahun 2008 ini dikenal dua macam sistem
persyaratan. Dua sistem persyaratan itu adalah sistem persyaratan suara bulat
dan sistem persyaratan pan Amerika. Sistem persyaratan suara bulat yaitu suatu
mekanisme pengajuan persyaratan oleh suatu negara yang ingin terikat pada suatu
perjanjian yang didasarkan atas persetujuan semua negara anggota perjanjian,
dengan kata lain apabila ada negara anggota yang menentang persyaratan yang
diajukan oleh negara yang ingin mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan
diterima sebagai anggota. Pada sistem ini semua negara anggota harus menyetujui
persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar persyaratan
itu memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif, kalau tidak berarti negara
yang ingin menjadi anggota tadi harus menerima secara keseluruhan ketentuan
dalam perjanjian tersebut atau tidak menjadi anggota.
Sistem
suara bulat ini, seperti mashab kontrak dalam hukum perdata yang mana lebih
mengutamakan keutuhan dari substansi kontrak agar tidak mencederai maksud dan
tujuan perjanjian tersebut. Perkembangan yang signifikan atas sistem suara
bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I dan II, yaitu pada masa itu
Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak menggunakan mekanisme ini, dan mengenai
sistem suara bulat ini diatur dalam pasal 20 ayat 2 konvensi wina 1969.
Selanjutnya
sistem yang kedua yaitu sistem pan Amerika, sistem ini dinamakan sistem pan
Amerika dikarenakan sistem ini diperkenalkan dan diterapkan pertama kali
dibenua Amerika, pada organisasi regional pada tahun 1932 dengan nama
Organisation of American States. Mekanisme pada sistem ini tidak terlalu rumit
menurut penulis untuk penerapannya dan membuka kesempatan perkembangan yang
cepat bagi hukum perjanjian internasional itu sendiri.
Singkatnya
pada sistem pan Amerika apabila negara yang ingin terikat pada perjanjian
mengajukan persyaratan pada ketentuan perjanjian dan persyaratan ini mendapat
tanggapan pro dan kontra dari negara anggota maka perjanjian ini tetap berlaku
secara umum dan persyaratan hanya berlaku bagi negara yang pro terhadap
persyaratan yang diajukan dan yang kontra tidak berlaku perjanjian tersebut dan
akibat hukum bagi negara yang mengajukan persyaratan dan yang kontra pada
persyaratan tidak berlaku baginya perjanjian tersebut. Mengenai sistem pan
Amerika ini diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21
ayat 1, 2, 3, dan pasal 22 ayat 1, 2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.
Dari
uraian kedua sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya, yang dari
terminologi bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan mendasarnya. Disini
juga tampak dengan sangat jelas dari ketentuan yang mengaturnya dimana reservation
pan Amerika lebih banyak mendapatkan tempat pengaturan didalam konvensi wina
1969 dari pada sistem suara bulat, hal ini tidak lepas dari dinamika sistem pan
amerika yang lebih barpariasi dibandingkan sistem suara bulat.
Untuk
lebih memahami reservasi (persyaratan) berkenaang dengan tempatnya sebagai
pranata hukum internasional penulis menyajikan sebuah kasus yang mengetengahkan
antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu sendiri, sebagai
berikut:
Reservation
atas Konvensi Genocide, 1951.
Pihak-Pihak
yang Terlibat:
1.
PBB Sebagai organisasi internasional yang menyelenggarakan konvensi Genoside
1951 “Konvensi Mengenai Dan Penghukuman
Kejahatan Genoside”.
2.
Negara- negara anggota PBB, yang pada tahun 1948 menyepakati secara bulat konvensi
tentang Genoside dengan jumlah negara anggota PBB adalah 56 Negara, dan negara
ketiga yang ingin ikut terikat yang karena konvensi yang sifatnya universal dan
konvensi memberikan kemungkinan itu.
3.
Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan 12(dua belas)
hakim mahkamah internasional.
Duduk
Perkara
Pada
tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah konvensi yaitu
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genoside (Konvensi
tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genoside) berdasarkan
Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal 12 Januari 1951, yang
menjadi masalah ternyata didalam konvensi tidak diatur mengenai
Reservation(persyaratan), jadi tidak ada kejelasan apakah negara yang mau
terikat pada konvensi Genoside ini diperkenangkan untuk mengajukan persyaratan
atau tidak sama sekali.
Didalam
prosesnya konvensi itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada beberapa
negara yang mengajukan persyaratan saat menyatakan persetujuannya untuk terikat
dalam konvensi Genoside 1951 ini.
Penyelesaian
Masalah:
Karena
didalam konvensi Genoside tidak ada aturan yang secara splisit mengatur
mengenai Reservasi. Padahal hal ini merupakan persoalan hukum internasional
yang sangat besar mengingat konvensi ini diakomodasi oleh Organisasi
internasional, maka Majelis Umum PBB pada saat itu mengeluarkan Reselusi nomor
478/ V/ 1950, yang memohon Advisory Opinion (pendapat hukum) ke Mahkamah
Internasional, dengan mengetengahkan masalah yang dihadapi oleh konvensi
Genocide 1951, sebagai berikut;
Sepanjang
berkaitan dengan konvensi tentang Genoside, dalam hal suatu negara yang
menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi:
a.
Dapatkah negara yang mengajukan persyaratan dipandang sebagai pihak atau
peserta pada konvensi dengan tetap mempertahankan persyaratan yang diajukanya
itu, jika persyaratan itu ditolak oleh satu atau lebih negara peserta, tetapi
tidak ditolak atau disetujui oleh negara-negara peserta lainnya.
b.
Jika jawaban atas pertanyaan a adalah positif (affirmative), bagaimanakah
akibat hukum dari persyaratan tersebut dalam hubungan antara negara yang
mengajukan persyaratan dan:
-
Negrara-negara peserta yang menolak persyaratan itu?
-
Negara-negara peserta yang menerima atau menyetujuinya?
c.
Apakah akibat hukumnya berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan a, apabila
keberatan atau penolakan terhadap persyaratan itu diajukan oleh:
- Negara yang menandatangani konvensi tetapi
yang belum menyatakan persetu- juannya
untuk terikat atau belum meratifikasinya?
-
Negara yang berhak untuk menandatanganinya maupun mengaksesinya tetapi ternyata
tidak atau belum melakukannya?
Dalam
menjawab pertanyaan ini, Mahkamah Internasional menyatakan;
Semua pertanyaan tersebut secara
tegas dibatasi oleh Resolusi Majelis Umum PPB yakni hanya berkaitan dengan
konvensi tentang goneside, oleh karena itu, jawaban yang akan diberikan oleh
Mahkamah pun juga secara tegas dibatasi hanya pada konvensi saja. Mahkamah akan
mencari jawabannya didalam kaidah- kaidah atau peraturan-peraturan hukum yang
berkenaan dengan akibat hukum dai reservasi maupun penerimaan dan penolakan
terhadap reservasi dalam perjanjian-perjanjian multilateral”.
Selanjutnya mahkamah mengatakan
bahwa suatu perjanjian internasional tidak mengikat bagi negara yang tidak
menyetujui untuk terikat begitupun sebaliknya. Mahkamah dalam hal menyampaikan
pendapatnya memperhatikan faktor internal dan eksternal dari konvensi Genoside
ini. Faktor internalnya antara lain meliputi mekanisme persetujuan perjanjian
yang memakai sistem suara bulat diperberat, maksudnya suara bulat diperberat
adalah pada saat kesepakatan diambil diadakan voting yang mana lebih banyak
yang setuju (suara mayoritas) dengan mekanisme suara bulat untuk perjanjian
Genoside ini, dengan kata lain sudah ada pihak (negara) yang bersebelahan (yang
minoritas pada saat pemungutan suara) dengan suara bulat ini, dan juga maksud
dan tujuan dari konvensi Genoside ialah sebagai konvensi yang parmanen dan
universal. Parmanen dan universal secara luas diartikan bahwa konvensi
merupakan manifestasi dari penerimaan secara murni atas tujuan kemanusian dan
peradaban umat manusia. Jadi dalam konvensi persamaan kepentingan adalah mutlak
dengan berpegang pada prinsip-prinsip moralitas, tanpa memperhitungkan
keuntungan dan kerugian atau hanya berdasarkan keseimbangan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya secara kontraktual saja sebagaimana dimaksud dan tujuan
dari perjanjian.
Faktor eksternalnya ialah perlunya
diperhatikan kondisi untuk penerapan konvensi Genoside yang bermuarah ke sifat
yang lebih luwes untuk keutuhan konvensi, ditambah pihak PBB sebagai pihak yang
mengakomodasi pelaksanaan konvensi bersifat sangat universal dan aturan
negara-negara yang bisa menjadi peserta berdasarkan ketentuan dalam konvensi (pasal
XI konvensi). Faktor selanjutnya adalah paham yang kental pada saat itu, dimana
paham ini menengahkan bahwa maksud dan tujuan perjanjian tidak bisa digagalkan
oleh suatu keputusan sepihak atau persetujuan khusus antara beberapa pihak
dalam perjanjian, paham ini didasarkan pada prinsip kedaulatan tiap-tiap negara
(paham ini berkembang dan menjadi landasan pembuatan kontrak “yaitu kontrak
haruslah utuh dan bulat”).
Itulah kedua faktor yang
mempengaruhi konvensi Genoside, kemudian mahkamah berpendapat bahwa maksud dan
tujuan konvensi adalah untuk membatasi, baik membatasi kebebasan untuk
mengajukan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan seperti maksud dan
tujuan dari PBB dan Negara-negara yang menyatujui perjanjian agar makin banyak
negara yang berpartisipasi dalam perjanjian. Jadi pengajuan persyaratan atau
penolakan terhadap persyaratan harus dianggap sebagai tindakan penyempurnaan
dari perjanjian sepanjang itu relevan dengan maksud dan tujuan perjanjian.
Mengenai laporan yang berkenaan
dengan masalah ini, yang diterimah oleh dewan LBB pada tanggal 17 Juli 1927,
yang menyatakan bahwa sering terjadi persetujuan secara diam-diam yang memiliki
peranan tersendiri atas reservasi dalam suatu perjanjian, namun hal ini tidak
menegaskan adanya peraturan. Lalu melihat kebiasaan dalam penolakan terhadap
persyaratan itu sangat sering tidak terjadi dalam perjanjian yang
konsekuensinya tidak ada alasan untuk membuatkan aturan hukum internasional
semacan ini. Presfektip yang paling baik dianut adalah bahwa rekomendasi yang
dibuat untuk Dewan LBB pada tanggal tersebut merupakan titik tolak dari suatu
praktik administratif yang diterapkan dan ditaati dikalangan sekretariat LBB.
Akhirnya
Mahkamah Internasional dengan perbandingan suara tujuh orang hakim menyetujui
sedangkan lima orang hakim menolak, memberikan Advisory opinionnya atas
permohonan yang diajukan oleh PBB, dan menyatakan;
· Bahwa
jika ada suatu negara yang mengajukan persyaratan yang ternyata ditolak oleh
satuatau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau tidak
ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan persyaratan
itu dapat dipandang menjadi peserta pada konvensi, apabilah persyaratan itu
sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari konvensi,
tetapi sebaliknya jika persyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan
konvensi, maka negara tersebut tidak dapat dipandang peserta pada konvensi.
· Bahwa
jika salah satu negara peserta menolak persyaratan yang diajukan oleh suatu
negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, negara
itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan
persyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
· Bahwa
jika lain pihak, suatu negara peserta ada yang menerima atau menyetujui
persyaratan tersebut karena menganggapnya sesuai dengan maksud dan tujuan
konvensi, maka negara yang menyetujui itu dalam kenyataannya dapat memandang negara
yang mengajukan persyaratan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
· Bahwa
keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang dikemukakan oleh
negara penandatangan yang belum meratifikasi atau belum menyatakan
persetujuannya untuk terikat pada konvensi akan meulai menimbulkan akibat hukum
dalam hubungannya dengan jawaban pertama diatas, hanya sesudah negara itu
menyatakan persetujuannya untuk terikat atau sesudah negara itu
meratifikasinya.
· Bahwa
keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang diajukan oleh suatu
negara yang berhak untuk menandatangani atau mengaksesinya tetapi ternyata
negara itu tidak atau belum melakukan pernyataan persetujuan untuk terikat pada
perjanjian itu, keberatan atau penolakan tersebut tidak memilki akibat hukum
apapun.
Dengan merujuk pada Advisory opinion
Mahkamah Internasional yang pertimbangannya meliputi faktor internal dan
eksternal yang telah dijelaskan sebelumnya ditambah perbedaan Presfektif (pandangan)
dari negara-negara terhadap reservation, maka PBB dalam kasus Genoside 1951
menerapkan Advisory opinion Mahkamah internasional untuk menyelesaikan masalah
persyaratan ini.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
·
Reservasi (persyaratan) merupakan
pranata hukum internasional yang sangat relevan dengan kebutuhan negara-negara
akan aturan hukum internasional yang mana sumbernya dari perjanjian
internasional. Reservasi juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan
beberapa ketentuan yang bertentangan dengan keinginnan Negara-negara akan
aturan internasional selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan
dari perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap
negara juga terakomodasi dalam perjanjian.
·
Pada kasus Genocide, Advisory opinion
Mahkamah Internasional sudah Preskriftip (apa yang seyogyanya), dengan
pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di tambah penulis
memberikan Apreasi bagi Mahkamah internasional yang sangat mapan mempergunakan
Prespektif hukum murni dalam kasus ini.
·
Tehnik yang dapat digunakan agar sedapat
mungkin mencapai persetujuan antara negara perunding adalah selama perundingan
dapat memutuskan mengenai naskah reservasi yang dirumuskan secara tepat yang
diperbolehkan atau dengan merumuskan lebih jauh lagi dengan menetapkan hanya
negara-negara tertentu yang diperbolehkan membuat reservasi yang kemudian
diletakkan sebagai lampiran atau perjanjian memuat ketentuan bahwa hanya
reservasi itu saja yang diperbolehkan.
3.2
Saran
·
Dalam pembuatan perjanjian
internasional, kemampuan suatu negara untuk membuat reservasi, menunjukkan
adanya asas kedaulatan negara dimana suatu negara dapat menolak kesepakatannya
terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional, sehingga
dengan demikian ketentuan-ketentuan itu tidak mengikat Negara tersebut. Namun
hal ini dapat membahayakan beroperasinya perjanjian secara keseluruhan.
·
Mengenai sistem suara bulat bagi
reservation menurut hemat penulis merupakan sebuah kegagalan awal dari
perjanjian dan persyaratan itu sendiri, dikarenakan dalam hal ini bisa saja
negara menolak untuk meratifikasi disebabkan bertentangan dengan kedaulatannya
dimana perlu diingat bahwa persyaratan merupakan implikasi dari sebuah
kedaulatan. Dengan adanya sistem pan Amerika yang kembali menurut hemat penulis
merupakan mekanisme yang tepat bagi reservasi karena cukup luwes dan akomodasi
untuk kedaulatan negara-negara yang ingin mengikatkan dirinya pada suatu
konvensi.
DAFTAR
PUSTAKA
Parthiana,
I Wayan. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1.Bandung.
Prajogo,
Soesilo. 2007. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Cetakan pertama.
Adolf,
Haula. 2004. Hukum perdagangan internasional. Bandung
“Konvensi
Wina 1969 Tentang Penjanjian Internasional” Foto Copy Naskah Transletnya
ke Bahasa Indonesia.
Suryokusumo
dan Sumaryo. 2008. Hukum Perjanjian
Internasional. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar