Rabu, 13 Februari 2013

PERJANJIAN BERNAMA (Perikatan)




1. PERJANJIAN JUAL BELI

A. Dasar Hukum dan Pengertiannya

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam KUH. Perdata maupun KUH. Dagang.

Jual beli diatur dalam Buku III Bab V Pasal 1457-1540 KUH. Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH. Perdata menyebutkan bahwa jual beli adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.


Munir Fuady mengartikan jual beli adalah suatu kontrak dimana 1
(satu) pihak, yakni yang disebut dengan pihak penjual, mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak lainnya, yang disebut dengan pihak pembeli, mengikatkan dirinya untuk membayar harga dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati bersama (Munir Fuady, 25 : 2005)


B. Subyek dan Obyek Jual Beli

Dari definisi tersebut khususnya dari perkataan ”pihak yang satu mengikatkan dirinya menyerahkan suatu kebendaan”, sedangkan
”perkataan lain pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

Subyek dalam jual beli adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian, yaitu pihak penjual (pihak yang menyerahkan) dan pihak pembeli (pihak yang membayar).

Sedangkan obyek dalam jual beli adalah benda dan harga. Benda adalah harta kekayaan baik bergerak, tidak bergerak, berwujud ataupun tidak berwujud. Harga adalah sejumlah uang senilai dari harga benda tersebut.




C. Saat terjadinya Jual Beli

Pasal 1458 KUH. Perdata menyebutkan bahwa ”Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”

Unsur-unsur pokok atau essensalia dari perjanjian jual beli adalah harga dan barang. Perjanjian jual beli sudah terjadi dengan adanya kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme dalam hukum perjanjian.

Jadi semenjak terjadinya kata sepakat tentang harga dan barang, maka pada detik itulah perjanjian tersebut sah. Akan tetapi dengan telah terjadinya jual beli belum menyebabkan beralihnya hak milik. Hak milik beralih setelah adanya penyerahan (levering) sebagai penyerahan hak secara hukum yang bentuk penyerahannya tergantung dari barangnya.


D. Kewajiban dan Hak Para Pihak

1. Kewajiban Penjual
a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
a.1. Penyerahan barang bergerak.
Diatur dalam Pasal 612 KUH. Perdata menyebutkan penyerahan yang nyata akan kebendaan atau penyerahan kunci-kunci dari bangunan. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan dengan alasan hak orang lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.

a.2. Penyerahan barang tak bergerak
Diatur dalam Pasal 616 - 620 KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.

a.3. Penyerahan piutang atas nama dan hak lainnya
Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan (cessi) yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya.



Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang

karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.

b. Menjamin kenikmatan tentram dan tidak adanya cacad tersembunyi. Artinya bahwa adanya jaminan dari penjual ke pembeli bahwa :
b.1. barang yang dijual benar-benar miliknya dan dia mempunyai wewenang untuk menjualnya.
b.2. Barang yang dijual tidak dalam keadaan sengketa bebas dari beban atau tuntutan dari pihak manapun.

Apabila ketentuan ini tidak benar menurut Pasal 1496 KUH. Perdata, pembeli dapat menuntut kembali kepada penjual hal – hal sebagai berikut :
a. Pengembalian uang harga pembelian.
b. Pengembalian hasil-hasil apabila pembeli diwajibkan oleh pengadilan untuk menyerahkan hasil-hasil itu kepada penggugat/pihak ketiga.
c. Biaya pengadilan untuk menurut seratakan penjual dalam perkara gugatan pihak ketiga dan biaya perkara sebagai pihak yang kalah.
d. Penggantian biaya, kerugian dan bunga serta biaya pembelian dan penyerahan sepanjang biaya-biaya itu dikeluarkan oleh pembeli.

Cacad tersembunyi diatur dalam Pasal 1504 KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa ”si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya sipembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.”


Artinya :
1. Si penjual berkewajiban menanggung cacat tersembunyi terhadap barang yang dijualnya yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai atau mengurangi pemakaian, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat tersebut ia sama sekali tidak akan membelinya atau membeli dengan harga yang berkurang.
2. Si penjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan dan si pembeli dianggap telah mengetahui kondisi dan menerima apa adanya barang tersebut.
3. Si penjual tetap menanggung cacat tersembunyi meskipun dia tidak mengetahui adanya cacad itu, kecuali diperjanjikan sebelumnya bahwa penjual tidak berkewajiban menanggung cacad tersembunyi tersebut.

Tuntutan dari si pembeli adalah
1. Penjual diwajibkan untuk mengembalikan harga pembelian.
2. Penjual mengganti semua kerugian yang diderita oleh pembeli.

2. Kewajiban Pembeli
a. Membayar harga barang yang dibeli pada waktu dan tempat yang diperjanjikan (Pasal 1513 KUH. Perdata). Apabila tempat pembayaran tidak ditentukan dalam perjanjian, maka pembayaran dilakukan ditempat dan pada saat penyerahan barang (Pasal 1517
KUH. Perdata).
b. Membayar bunga dari harga pembelian biamana barang yang dibelinya dan sudah diserahkan kepadanya akan tetapi belum dibayar olehnya, memberi hasil atau pendapatan lainnya, walaupun tidak ada ketentuan mengenai hal itu dalam perjanjian jual beli (Pasal 1515 KUH. Perdata).
c. Melaksanakan pengambilan barang atas biaya sendiri apabila tidak diatur cara lain dalam perjanjian jual beli (pasal 1476 KUH. Perdata).


3. Hak Penjual
a. Hak atas harga barang yang dijualnya.
b. Hak reklame adalah hak penjual barang bergerak yang dijual secara tunai untuk menuntut kembali barangnya yang belum dibayar oleh pembeli dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penyerahannya (Pasal 1145 KUH. Perdata)
c. Hak untuk menyatakan batal demi hukum berdasarkan pasal 1518
KUH. Perdata perjanjian jual beli barang dagangan dan barang perabot rumah yang tidak diambil oleh pembeli dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu kepada pihak pembeli.

4. Hak Pembeli
a. Jaminan dari penjual mengenai kenikmatan tentram dan tidak adanya cacat tersembunyi.
b. Hak untuk menunda pembayaran harga barang dalam hal pembeli diganggu dalam menikmati barang yang dibelinya oleh tuntutan hukum (pasal 1516 KUH. Perdata).


E. Risiko dalam Perjanjian Jual Beli

Dalam KUH. Perdata pengaturan risiko dalam jual beli terdapat 3
pasal yang mengaturnya, yaitu :

1. Pasal 1460 KUH Perdata mengenai benda bergerak tertentu.
Jika benda yang dijual itu berupa benda tertentu (benda sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli), maka sejak saat pembelian benda tersebut menjadi tanggung jawab pembeli meskipun penyerahan belum dilakukan. Penjual berhak menuntut harganya. Risiko ada pada pembeli dan pembeli wajib membayar harganya.

2. Pasal 1461 KUH Perdata mengenai benda bergerak yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran.
Risiko atas benda yang sudah ditimbang, dihitung, atau diukur terpisah benda tersebut dari benda milik penjual menjadi tanggungan pembeli walaupun belum diserahkan.

3. Pasal 1462 KUH Perdata mengenai benda bergerak yang dijual menurut tumpukan.
Risiko atas benda yang sudah ditumpuk menjadi tanggungan pembeli meskipun belum diserahkan.


F. Berakhirnya Jual Beli

Secara normal jual beli berakhir setelah penjual dan pembeli memenuhi kewajiban masing-masing sesuai dengan kesepakatan mereka. Sedangkan secara tidak normal ada beberapa hal yang mengakibatkan perjanjian jual beli berakhir, antara lain :
1. karena wanprestasi berdasarkan putusan hakim.
2. karena pembeli jatuh pailit berdasarkan putusan hakim.
3. karena pembeli meninggal dunia.




2. PERJANJIAN SEWA MENYEWA

A. Dasar Hukum dan Pengertiannya

Sewa menyewa diatur dalam Buku III Bab VII Pasal 1548 – 1600
KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

Dari definisi sewa menyewa jelaslah bahwa penyerahan bukanlah kepemilikan dari barang yang disewa melainkan hanya memberikan kenikmatan kepada penyewa.

B. Subyek dan Obyek Sewa Menyewa

Pihak-pihak dalam sewa menyewa adalah pihak penyewa dan pihak yang menyewakan. Pihak penyewa merupakan pihak yang membayar uang sewa sedangkan pihak yang menyewakan adalah pihak pemilik yang menyerahkan kenikmatan atas barang.

Sedangkan obyek dari sewa menyewa yang menjadi unsur sewa adalah harga, barang dan waktu sewa.


C. Saat terjadinya Sewa Menyewa

Sama seperti jual beli, pada sewa menyewa juga menganut asas konsensual artinya pada detik terjadinya kata sepakat maka perjanjian sewa menyewa tersebut sudah sah dan mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya.


D. Kewajiban dan Hak Para Pihak

1. Kewajiban Pihak Yang Menyewakan
a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa.
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
c. memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.


2. Kewajiban Pihak Penyewa
a. Memakai barang yang disewa sebagai seorang ”bapak rumah yang baik”, sesuai dengan tujuan yang dibrikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya.
b. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.
c. Mengembalikan barang sewaan dengan kondisi sesuai dengan kesepakatan.

3. Hak Pihak Yang Menyewakan
Menerima uang sewa pada waktu sebagaimana yang diperjanjikan.

4. Hak Pihak Penyewa
a. Penyerahan barang dalam keadaan terpelihara sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluan yang dipergunakan.
b. Jaminan dari yang menyewakan mengenaik kenikmatan tenteram dan tidak adanya cacat yang merintangi pemakaian barang yang disewanya.


E. Mengulang sewakan

Pasal 1559 KUH. Perdata menyebutkan si penyewa jika kepadanya tidak telah diijinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewanya, maupun melepas sewanya kepada orang lain atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan itu tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.

Dari pengertian dalam undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Penyewa tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewa.
2. Penyewa tidak diperbolehkan melepaskan sewanya kepada orang lain.





Ada perbedaan antara mengulang sewakan dengan melepas sewa, yaitu :
1. Dalam hal mengulang sewakan, penyewa barang bertindak sendiri sebagai pihak dalam perjanjian sewa menyewa kedua yang diadakan olehnya dengan pihak ketiga.
2. Dalam hal melepas sewanya, penyewa mengundurkan diri dari penyewa, sehingga pihak ketiga langsung berhadapan dengan pihak yang menyewakan.

Apabila penyewa berbuat sebagaimana yang dilarang, maka yang menyewakan dapat meminta pembatalan perjanjian sewa disertai dengan pembayaran kerugian, sedangkan pihak yang menyewakan setelah dilakukan pembatalan tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa dengan orang ketiga tersebut (R. Subekti, 46 : 1985).

Pasal 1559 KUH. Perdata menyebutkan bahwa penyewa diperbolehkan menyewa rumah yang menjadi tempat tinggalnya sebagian kepada orang lain, kecuali kekuasaan tersebut telah dilarang dalam perjanjian sewa menyewa.


F. Jual Beli tidak mengakhiri Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa tidak berakhir dengan dijualnya barang yang disewa, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya (pasal 1576 KUH. Perdata). Subekti menyebutkan bahwa undang-undang bermaksud melindungi si penyewa terhadap si pemilik baru, apabila barang yang sedang disewa itu dipindahkan kelain tangan (R. Subekti, 48 : 1985)

Demikian pula apabila pemilik atau yang menyewakan menghibahkan barang yang menjadi obyek sewa kepada seseorang, maka penghibahan juga tidak mengakhiri sewa menyewa. Artinya penerima hibah harus menunggu sampai dengan masa sewa berakhir.

Pasal 1579 KUH. Perdata juga melindungi penyewa dari maksud yang menyewakan untuk memakai barang yang disewakan.


G. Risiko dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban menanggung kerugian jika terjadi keadaan memaksa (overmacht).

Risiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553
KUH. Perdata yang membagi atas 2 kriteria, yaitu :
1. Apabila barang yang disewa musnah secara keseluruhan, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Maksudnya risiko ada pada pihak yang menyewakan sebagai pemilik benda yang telah musnah.
2. Apabila barang yang disewa musnah sebagian, maka penyewa dapat memilih :
a. pembatalan perjanjian sewa menyewa
b. berlangsungnya terus perjanjian dengan pengurangan uang sewa tanpa hak atas ganti rugi.
Atas pilihan ini penyewa tidak dapat menuntut ganti rugi.


H. Berakhirnya Sewa Menyewa

Sewa menyewa dapat berakhir baik secara normal maupun secara tidak normal. Berakhir secara normal artinya sewa menyewa itu telah terpenuhi sebagaimana mestinya sesuai dengan waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan secara tidak formal berakhirnya karena terdapat faktor-faktor yang melatarbelakanginya.

Ada beberapa sebab berakhirnya perjanjian sewa menyewa, yaitu
(Abdulkadir Muhammad, 98 : 1992) :
1. jangka waktu sewa berakhir.
2. benda sewaan musnah.
3. pembatalan sewa menyewa.
a. benda sewaan musnah sebagian dan penyewa memilih alternatif pembatalan sewa menyewa (Pasal 1553 ayat 2 KUH. Perdata)

Hukum Perjanjian Internasional (makalah)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kehidupan dalam masyarakat internasional senantiasa bertumpu pada suatu tatanan norma. Pada kodratnya masyarakat internasional itu saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan hubungan ini satu sama lain diperlukan suatu kondisi, yaitu keadaan yang tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan yang tertib dan aman ini diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan norma tersebut telah berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan Hukum Internasional Publik atau disingkat dengan Hukum Internasional saja.
Sebagai suatu sistem hukum, Hukum Internasional mempunyai beberapa sumber, seperti yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, bahwa bagi Mahkamah Internasional yang tugasnya memberi keputusan sesuai dengan Hukum Internasional untuk perselisihan yang diajukan kepadanya, akan berlaku:
1.      Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang umum maupun yang khusus, yang dengan tegas menyebut ketentuan-ketentuan yang diakui oleh negara-negara yang berselisih.
2.      Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktek-praktek umum yang diterima sebagai hukum.
3.      Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa.
4.      Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran Sarjana-sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan.
Bahwa urutan-urutan sumber hukum tersebut tiga dari sumber hukum pertama yaitu; 1, 2, dan 3 merupakan sumber hukum utama sedangkan sumber hukum ke 4 merupakan sumber hukum tambahan.
Dalam Konperensi Wina tahun 1969 telah berhasil disepakati sebuah naskah perjanjian yang lebih dikenal dengan nama “Viena Convention on the Law of Treaties” atau Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (selanjutnya disingkat sebagai Konvensi Wina 1969). Konperensi Wina ini diadakan atas prakarsa Perserikatan Bangsa-bangsa dan naskah rancangan konvensinya disusun oleh Panitia Hukum Internasional/International Law Commission (yang disingkat dengan ILC), yaitu sebuah Panitia ahli dan dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.174/II/1947 (Wayan., Perjanjian.., 1981, ha;. 344).
Konvensi Wina tentang perjanjian ini tidak hanya sekedar merumuskan kembali atau mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional dalam bidang perjanjian, melainkan juga merupakan pengembangan secara progresif hukum internasional tentang perjanjian. Namun demikian Konvensi Wina ini masih tetap mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya tentang persoalan-persoalan yang belum diatur dalam Konvensi Wina.
Perkembangan sumber hukum internasional sampai pada akhir tahun 2008 sangat signifikan, hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun perkembangan sumber hukum internasional ini tetap menempatkan perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral sebagai sumber utama hukum internasional.
Perkembangan selanjutnya, ada beberapa praktek negara yang menggunakan istilah pensyaratan dalam perjanjian bilateral. Praktek ini banyak dilakukan dalam perjanjian bilateral yang melibatkan Amerika Serikat.
Kemudian reservasi atau dikenal dengan pensyaratan dalam UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional adalah suatu pernyataan sepihak dari suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral.
Reservasi atau pensyaratan memang lazim dilakukan dalam praktek perjanjian internasional. Pensyaratan mencerminkan azas kedaulatan suatu negara, dimana suatu negara memiliki hak untuk menolak ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional yang bertentangan dengan hukum nasional negara tersebut.
Penjanjian (treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu bentuk kodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional. Proses kodifikasi biasanya dilakukan dalam konvensi-konvensi internasional. Didalam konvensi biasanya dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya sampai pelaksanaan isi perjanjian, baik dengan cara ratifikasi atau aksesi bagi negara yang mau terikat hak dan kewajibannya terhadap perjanjian. Seyogyanya isi perjanjian dilaksanakan secara penuh agar tercapai kesempurnaan perjanjian itu sendiri, namun hal ini tentunya sulit dicapai ketika melibatkan kepentingan setiap negara yang ikut dalam konvensi. Kepentingan negara- negara yang berbeda inilah yang biasanya membuat alok pada saat perumusan dan perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan dilema bagi negara peserta konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itu pada umumnya atau lebih banyak yang sesuai dengan kebutuhan (menguntungkan) negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari perjanjian yang memang tidak dibutuhkan (tidak menguntugkan) bagi negara tersebut ataupun bertentangan dengan konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara mundur atau tidak meratifikasi dan atau mengaksesi perjanjian maka suatu perjanjian dibuatkan suatu pengecualian dalam bentuk RESERVASI atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama persyaratan.
Persyaratan (reservasi) berlaku juga bagi negara ketiga yang ingin ikut serta dalam perjanjian tetapi tidak ikut dalam konvensi. Persyaratan disini memberikan angin segar bagi negara yang ingin terikat dalam perjanjian tapi tidak secara penuh menerima semua ketentuan dalam perjanjian.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, rumusan masalah untuk makalah ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh kedaulatan negara dalam menekan untuk lahirnya sebuah Persyaratan, dan apakah instrumen dari persyaratan (reservasi)?
2.  Apakah perbedaan reservation sistem suara bulat dengan sistem pan Amerika?
      Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951 (tentang pencegahan dan   penghukuman atas kejahatan genocide)?

1.3 Tujuan dan Kegunaan
1. Manfaat:
·         Untuk dapat mengetahui seberapa besar pengaruh reservasi dalam pembuatan   hukum perjanjian Intrnasional.
·         Untuk mengetahui perbedaan reservasi sistem suara bulat dengan sistim pan Amerika.
2. Tujuan:
·         Untuk lebih memahami reservasi (persyaratan) berkenaan dengan tempatnya sebagai pranata hukum internasional yang mengetengahkan antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu sendiri




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Reservasi
Reservasi adalah suatu pernyataan sepihak yang dibuat oleh suatu Negara pada waktu menandatangani, menerima, meratifikasi, mengesahkan atau mengaksesi perjanjian, yang isi pokoknya adalah untuk mengeluarkan atau untuk mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam pemberlakuannya terhadap Negara tersebut (KW 1969).
Awalnya reservasi (persyaratan) didefinisikan berbeda-beda berdasarkan subyek yang memberikan defenisi. Adapun defenisi bebas terhadap reservation yang secara umum itu ialah pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yang isinya menyatakan “Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut, dan atau mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti tersendiri atas salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang bersangkutan”, perbedaan pendapat ini dimungkinkan kalau belum ada defenisi yang disepakati bersama.
Menurut UU No.24 Tahun 2000 Pasal 1 (d), Reservasi adalah suatu perrnyataan sepihak dari suatu Negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral.
Namun dengan lahirnya konvensi wina 1969 sebagai instrumen hukum perjanjian internasional, pengertian persyaratan telah diterimah secara umum berdasarkan defenisi yang terdapat pada pasal 2 ayat 1 butir d “Persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengapksesi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan”. Dengan demikian substansi pasal 2 (1),d konvensi wina antara lain adalah merupakan pernyataan sepihak, berkenaan dengan waktu pengajuan persyaratan, dan berkenaan dengan substansi, maksud, dan tujuan dari persyaratan itu sendiri, serta pengajuan persyaratan itu harus dalam bentuk tertulis.
Dengan adanya pengertian yang diberikan terhadap reservasi dalam konvensi wina berarti pengertian bebas tadi dengan sendirinya ditinggalkan karena sifatnya yang relatif demi terpenuhinya persamaan presfektif terhadap reservasi.

2.2 Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Menekan Untuk Lahirnya Sebuah Persyaratan,
 dan Instrumen Dari Persyaratan (reservasi).
Resevasi seperti telah diuraikan diatas didasarkan pada pasal 2 ayat 1 bagian d konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Perjanjian merupakan manifestasi dari keinginan negara- negara atas sebuah aturan internasional yang penerapannya tidak bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya tidak mencederai kedaulatan masing- masing negara. Kedaulatan merupakan salah satu unsur pembentuk negara sehingga aturan hukum internasional diusahakan serelevan mungkin dengan aturan hukum umum pada setiap negara didunia. Kedaulatan menurut kamus hukum internasional dan indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo, SH, yang diterbitkan Wacana Intelektual berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah; kedaulatan suatu negara”, dengan mengacu pada defenisi diatas maka suatu problem akan muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi internasional, dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.
Kesadaran bahwa dalam sistem dan struktur masyarakat internasional, negara-negara sebagai subyek utama hukum internasional memiliki kedaulatan, dan dengan dasar kedaulatan itu maka negara tidak bisa dipaksa untuk menerima atau menyatujui sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu perjanjian internasional, atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak penuh untuk menentukan apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak terikat pada suatu perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika didalam perejanjian itu ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan bagi negara, pilihannya adalah menyatujui untuk terikat atau tidak sama sekali.
Pilihan manapun yang ditempuh akan menimbulkan masalah lanjutan baik bagi negara itu maupun bagi perjanjian itu sendiri, bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas akan menimbulkan dampak tehadap masyarakat internasional pada umumnya, lebih- lebih jika perjanjian itu merupakan perjanjian internasional multilateral global. Masalah yang timbul bagi negara adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian padahal sebagian besar dari ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya, sebaliknya jika memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa ketentuan yang merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada pilihan yang sulit.

Selanjutnya bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi perkembangan hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional bila makin sedikit negara yang menyatakan setuju untuk terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini juga akan menghambat konsep ideal dari perjanjian itu pada tatanan pelaksanaannya yang riil.
Bagi masyarakat internasional secara umum, terhambatnya suatu perjanjian internasional berkembang menjadi kaidah hukum positif berarti akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional. Dengan dua pilihan diatas tentunya akan sulit dipenuhi oleh negara- negara yang ikut dalam perjanjian untuk terikat karena sifatnya yang terlalu ekstrim.
Untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap negara tanpa mengesampingkan kedaulatan disatu sisi yang berseberangan dengan ketentuan dalam perjanjian, kemudian diperkenalkan pranata hukum internasional yang disebut reservasi (persyaratan) untuk menjembantani kedaulatan negara-negara dalam keterikatannya pada perjanjian internasional dengan perjanjian itu sendiri. Hal ini membuat terang bahwa persyaratan (reservasi) lahir dari sebuah jurang antara kedaulatan dan ketentuan pada suatu perjanjian.
Mengenai persyaratan instrumen positifnya diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 2 ayat 1 d “defenisi dari persyaratan”, dan diatur pula dalam lima pasal yaitu pasal 19 “ mengenai ketentuan pengajuan suatu persyatan sampai pembatasannya pada perjanjian internasional”, pasal 20” mengenai diterima atau ditolaknya persyaratan yang diajukan suatu negara oleh negara peserta lainnya”, pasal 21” diatur mengenai akibat hukum dari persyaratan”, pasal 22” diatur mengenai penarikan kembali suatu persyaratan atau sebuah penolakan”, pasal 23”pada pasal ini diatur mengenai prosedur persyaratan secara menyeluruh”. Dengan adanya aturan yang jelas mengenai persyaratan akan memudahkan bagi negara peserta konvensi atau negara ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan mengecualikan beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu sendiri.
Secara umum perjanjian internasional yang didalamnya diikuti oleh negara sebagai peserta berkiblat (atau instrumen hukumnya) pada ketentuan konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Ketentuan dalam konvensi wina tegasnya terdapat 8 (delapan) bagian yang terdiri dari 85 pasal, yang diharapkan dapat mengakomodasi ketentuan hukum internasional bagi suatu perjanjian.



2.3 Perbedaan Reservasi Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan Amerika, Dan kasus   reservasi atas Konvensi Genoside tahun 1951 (tentangpencegahan dan penghukuman atas kejahatan genoside).
Pada masa awal lahirnya persyaratan sampai tahun 2008 ini dikenal dua macam sistem persyaratan. Dua sistem persyaratan itu adalah sistem persyaratan suara bulat dan sistem persyaratan pan Amerika. Sistem persyaratan suara bulat yaitu suatu mekanisme pengajuan persyaratan oleh suatu negara yang ingin terikat pada suatu perjanjian yang didasarkan atas persetujuan semua negara anggota perjanjian, dengan kata lain apabila ada negara anggota yang menentang persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan diterima sebagai anggota. Pada sistem ini semua negara anggota harus menyetujui persyaratan yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar persyaratan itu memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif, kalau tidak berarti negara yang ingin menjadi anggota tadi harus menerima secara keseluruhan ketentuan dalam perjanjian tersebut atau tidak menjadi anggota.
Sistem suara bulat ini, seperti mashab kontrak dalam hukum perdata yang mana lebih mengutamakan keutuhan dari substansi kontrak agar tidak mencederai maksud dan tujuan perjanjian tersebut. Perkembangan yang signifikan atas sistem suara bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I dan II, yaitu pada masa itu Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak menggunakan mekanisme ini, dan mengenai sistem suara bulat ini diatur dalam pasal 20 ayat 2 konvensi wina 1969.
Selanjutnya sistem yang kedua yaitu sistem pan Amerika, sistem ini dinamakan sistem pan Amerika dikarenakan sistem ini diperkenalkan dan diterapkan pertama kali dibenua Amerika, pada organisasi regional pada tahun 1932 dengan nama Organisation of American States. Mekanisme pada sistem ini tidak terlalu rumit menurut penulis untuk penerapannya dan membuka kesempatan perkembangan yang cepat bagi hukum perjanjian internasional itu sendiri.
Singkatnya pada sistem pan Amerika apabila negara yang ingin terikat pada perjanjian mengajukan persyaratan pada ketentuan perjanjian dan persyaratan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari negara anggota maka perjanjian ini tetap berlaku secara umum dan persyaratan hanya berlaku bagi negara yang pro terhadap persyaratan yang diajukan dan yang kontra tidak berlaku perjanjian tersebut dan akibat hukum bagi negara yang mengajukan persyaratan dan yang kontra pada persyaratan tidak berlaku baginya perjanjian tersebut. Mengenai sistem pan Amerika ini diatur dalam konvensi wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21 ayat 1, 2, 3, dan pasal 22 ayat 1, 2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.
Dari uraian kedua sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya, yang dari terminologi bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan mendasarnya. Disini juga tampak dengan sangat jelas dari ketentuan yang mengaturnya dimana reservation pan Amerika lebih banyak mendapatkan tempat pengaturan didalam konvensi wina 1969 dari pada sistem suara bulat, hal ini tidak lepas dari dinamika sistem pan amerika yang lebih barpariasi dibandingkan sistem suara bulat.
Untuk lebih memahami reservasi (persyaratan) berkenaang dengan tempatnya sebagai pranata hukum internasional penulis menyajikan sebuah kasus yang mengetengahkan antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu sendiri, sebagai berikut:

Reservation atas Konvensi Genocide, 1951.
Pihak-Pihak yang Terlibat:
1. PBB Sebagai organisasi internasional yang menyelenggarakan konvensi Genoside 1951 “Konvensi Mengenai Dan Penghukuman Kejahatan Genoside”.
2. Negara- negara anggota PBB, yang pada tahun 1948 menyepakati secara bulat konvensi tentang Genoside dengan jumlah negara anggota PBB adalah 56 Negara, dan negara ketiga yang ingin ikut terikat yang karena konvensi yang sifatnya universal dan konvensi memberikan kemungkinan itu.
3. Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan 12(dua belas) hakim mahkamah internasional.

Duduk Perkara
Pada tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah konvensi yaitu Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genoside (Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genoside) berdasarkan Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal 12 Januari 1951, yang menjadi masalah ternyata didalam konvensi tidak diatur mengenai Reservation(persyaratan), jadi tidak ada kejelasan apakah negara yang mau terikat pada konvensi Genoside ini diperkenangkan untuk mengajukan persyaratan atau tidak sama sekali.
Didalam prosesnya konvensi itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada beberapa negara yang mengajukan persyaratan saat menyatakan persetujuannya untuk terikat dalam konvensi Genoside 1951 ini.
Penyelesaian Masalah:
Karena didalam konvensi Genoside tidak ada aturan yang secara splisit mengatur mengenai Reservasi. Padahal hal ini merupakan persoalan hukum internasional yang sangat besar mengingat konvensi ini diakomodasi oleh Organisasi internasional, maka Majelis Umum PBB pada saat itu mengeluarkan Reselusi nomor 478/ V/ 1950, yang memohon Advisory Opinion (pendapat hukum) ke Mahkamah Internasional, dengan mengetengahkan masalah yang dihadapi oleh konvensi Genocide 1951, sebagai berikut;
Sepanjang berkaitan dengan konvensi tentang Genoside, dalam hal suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi:
a. Dapatkah negara yang mengajukan persyaratan dipandang sebagai pihak atau peserta pada konvensi dengan tetap mempertahankan persyaratan yang diajukanya itu, jika persyaratan itu ditolak oleh satu atau lebih negara peserta, tetapi tidak ditolak atau disetujui oleh negara-negara peserta lainnya.
b. Jika jawaban atas pertanyaan a adalah positif (affirmative), bagaimanakah akibat hukum dari persyaratan tersebut dalam hubungan antara negara yang mengajukan persyaratan dan:
- Negrara-negara peserta yang menolak persyaratan itu?
- Negara-negara peserta yang menerima atau menyetujuinya?
c. Apakah akibat hukumnya berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan a, apabila keberatan atau penolakan terhadap persyaratan itu diajukan oleh:
 - Negara yang menandatangani konvensi tetapi yang belum menyatakan persetu-    juannya untuk terikat atau belum meratifikasinya?
- Negara yang berhak untuk menandatanganinya maupun mengaksesinya tetapi ternyata tidak atau belum melakukannya?
Dalam menjawab pertanyaan ini, Mahkamah Internasional menyatakan;
              Semua pertanyaan tersebut secara tegas dibatasi oleh Resolusi Majelis Umum PPB yakni hanya berkaitan dengan konvensi tentang goneside, oleh karena itu, jawaban yang akan diberikan oleh Mahkamah pun juga secara tegas dibatasi hanya pada konvensi saja. Mahkamah akan mencari jawabannya didalam kaidah- kaidah atau peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan akibat hukum dai reservasi maupun penerimaan dan penolakan terhadap reservasi dalam perjanjian-perjanjian multilateral”.
              Selanjutnya mahkamah mengatakan bahwa suatu perjanjian internasional tidak mengikat bagi negara yang tidak menyetujui untuk terikat begitupun sebaliknya. Mahkamah dalam hal menyampaikan pendapatnya memperhatikan faktor internal dan eksternal dari konvensi Genoside ini. Faktor internalnya antara lain meliputi mekanisme persetujuan perjanjian yang memakai sistem suara bulat diperberat, maksudnya suara bulat diperberat adalah pada saat kesepakatan diambil diadakan voting yang mana lebih banyak yang setuju (suara mayoritas) dengan mekanisme suara bulat untuk perjanjian Genoside ini, dengan kata lain sudah ada pihak (negara) yang bersebelahan (yang minoritas pada saat pemungutan suara) dengan suara bulat ini, dan juga maksud dan tujuan dari konvensi Genoside ialah sebagai konvensi yang parmanen dan universal. Parmanen dan universal secara luas diartikan bahwa konvensi merupakan manifestasi dari penerimaan secara murni atas tujuan kemanusian dan peradaban umat manusia. Jadi dalam konvensi persamaan kepentingan adalah mutlak dengan berpegang pada prinsip-prinsip moralitas, tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian atau hanya berdasarkan keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara kontraktual saja sebagaimana dimaksud dan tujuan dari perjanjian.
              Faktor eksternalnya ialah perlunya diperhatikan kondisi untuk penerapan konvensi Genoside yang bermuarah ke sifat yang lebih luwes untuk keutuhan konvensi, ditambah pihak PBB sebagai pihak yang mengakomodasi pelaksanaan konvensi bersifat sangat universal dan aturan negara-negara yang bisa menjadi peserta berdasarkan ketentuan dalam konvensi (pasal XI konvensi). Faktor selanjutnya adalah paham yang kental pada saat itu, dimana paham ini menengahkan bahwa maksud dan tujuan perjanjian tidak bisa digagalkan oleh suatu keputusan sepihak atau persetujuan khusus antara beberapa pihak dalam perjanjian, paham ini didasarkan pada prinsip kedaulatan tiap-tiap negara (paham ini berkembang dan menjadi landasan pembuatan kontrak “yaitu kontrak haruslah utuh dan bulat”).
              Itulah kedua faktor yang mempengaruhi konvensi Genoside, kemudian mahkamah berpendapat bahwa maksud dan tujuan konvensi adalah untuk membatasi, baik membatasi kebebasan untuk mengajukan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan seperti maksud dan tujuan dari PBB dan Negara-negara yang menyatujui perjanjian agar makin banyak negara yang berpartisipasi dalam perjanjian. Jadi pengajuan persyaratan atau penolakan terhadap persyaratan harus dianggap sebagai tindakan penyempurnaan dari perjanjian sepanjang itu relevan dengan maksud dan tujuan perjanjian.
              Mengenai laporan yang berkenaan dengan masalah ini, yang diterimah oleh dewan LBB pada tanggal 17 Juli 1927, yang menyatakan bahwa sering terjadi persetujuan secara diam-diam yang memiliki peranan tersendiri atas reservasi dalam suatu perjanjian, namun hal ini tidak menegaskan adanya peraturan. Lalu melihat kebiasaan dalam penolakan terhadap persyaratan itu sangat sering tidak terjadi dalam perjanjian yang konsekuensinya tidak ada alasan untuk membuatkan aturan hukum internasional semacan ini. Presfektip yang paling baik dianut adalah bahwa rekomendasi yang dibuat untuk Dewan LBB pada tanggal tersebut merupakan titik tolak dari suatu praktik administratif yang diterapkan dan ditaati dikalangan sekretariat LBB.

Akhirnya Mahkamah Internasional dengan perbandingan suara tujuh orang hakim menyetujui sedangkan lima orang hakim menolak, memberikan Advisory opinionnya atas permohonan yang diajukan oleh PBB, dan menyatakan;
·      Bahwa jika ada suatu negara yang mengajukan persyaratan yang ternyata ditolak oleh satuatau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau tidak ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan persyaratan itu dapat dipandang menjadi peserta pada konvensi, apabilah persyaratan itu sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari konvensi, tetapi sebaliknya jika persyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara tersebut tidak dapat dipandang peserta pada konvensi.
·      Bahwa jika salah satu negara peserta menolak persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi, negara itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan persyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
·      Bahwa jika lain pihak, suatu negara peserta ada yang menerima atau menyetujui persyaratan tersebut karena menganggapnya sesuai dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara yang menyetujui itu dalam kenyataannya dapat memandang negara yang mengajukan persyaratan sebagai pihak atau peserta pada konvensi.
·      Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang dikemukakan oleh negara penandatangan yang belum meratifikasi atau belum menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi akan meulai menimbulkan akibat hukum dalam hubungannya dengan jawaban pertama diatas, hanya sesudah negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat atau sesudah negara itu meratifikasinya.
·      Bahwa keberatan atau penolakan terhadap suatu persyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang berhak untuk menandatangani atau mengaksesinya tetapi ternyata negara itu tidak atau belum melakukan pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu, keberatan atau penolakan tersebut tidak memilki akibat hukum apapun.
           Dengan merujuk pada Advisory opinion Mahkamah Internasional yang pertimbangannya meliputi faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan sebelumnya ditambah perbedaan Presfektif (pandangan) dari negara-negara terhadap reservation, maka PBB dalam kasus Genoside 1951 menerapkan Advisory opinion Mahkamah internasional untuk menyelesaikan masalah persyaratan ini.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
·         Reservasi (persyaratan) merupakan pranata hukum internasional yang sangat relevan dengan kebutuhan negara-negara akan aturan hukum internasional yang mana sumbernya dari perjanjian internasional. Reservasi juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan beberapa ketentuan yang bertentangan dengan keinginnan Negara-negara akan aturan internasional selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap negara juga terakomodasi dalam perjanjian.
·         Pada kasus Genocide, Advisory opinion Mahkamah Internasional sudah Preskriftip (apa yang seyogyanya), dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di tambah penulis memberikan Apreasi bagi Mahkamah internasional yang sangat mapan mempergunakan Prespektif hukum murni dalam kasus ini.
·         Tehnik yang dapat digunakan agar sedapat mungkin mencapai persetujuan antara negara perunding adalah selama perundingan dapat memutuskan mengenai naskah reservasi yang dirumuskan secara tepat yang diperbolehkan atau dengan merumuskan lebih jauh lagi dengan menetapkan hanya negara-negara tertentu yang diperbolehkan membuat reservasi yang kemudian diletakkan sebagai lampiran atau perjanjian memuat ketentuan bahwa hanya reservasi itu saja yang diperbolehkan.

3.2 Saran
·         Dalam pembuatan perjanjian internasional, kemampuan suatu negara untuk membuat reservasi, menunjukkan adanya asas kedaulatan negara dimana suatu negara dapat menolak kesepakatannya terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan itu tidak mengikat Negara tersebut. Namun hal ini dapat membahayakan beroperasinya perjanjian secara keseluruhan.
·         Mengenai sistem suara bulat bagi reservation menurut hemat penulis merupakan sebuah kegagalan awal dari perjanjian dan persyaratan itu sendiri, dikarenakan dalam hal ini bisa saja negara menolak untuk meratifikasi disebabkan bertentangan dengan kedaulatannya dimana perlu diingat bahwa persyaratan merupakan implikasi dari sebuah kedaulatan. Dengan adanya sistem pan Amerika yang kembali menurut hemat penulis merupakan mekanisme yang tepat bagi reservasi karena cukup luwes dan akomodasi untuk kedaulatan negara-negara yang ingin mengikatkan dirinya pada suatu konvensi.

DAFTAR PUSTAKA

Parthiana, I Wayan. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1.Bandung.
Prajogo, Soesilo. 2007. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Cetakan pertama.
Adolf, Haula. 2004. Hukum perdagangan internasional. Bandung
“Konvensi Wina 1969 Tentang Penjanjian Internasional” Foto Copy Naskah Transletnya
                  ke Bahasa Indonesia.
Suryokusumo dan Sumaryo. 2008. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta.