BAGIAN
II
HAKEKAT
HUKUM
BAB
4
PENGERTIAN
HUKUM
4.1 Hukum dan Undang-undang Negara
Bila kita menghadap hukum, pertama-tama
kita insyaf bahwa hukum harus dikaitkan dengan kehidupan social: “hukum adalah
pertama-tama penataan hidup sosial”. Perumusan ini masih sangat abstrak, akan
tetapi justru karenanya meliputi macam-macam bentuk hukum, bila hukum
ditanggapi secara lebih konkret, pengertiannya berbeda-beda.
Menurut John Austin (1790-1859) tokoh
positivisme terdapat macam-macam hukum yakni:
1. Hukum
Allah. Hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam
arti yang sejati.
2. Hukum
manusia yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia. Di sini harus
dibedakan antara:
-
Hukum yang sungguh-sungguh (properly so called). Hukum ini adalah
undang-undang yang berasal dari suatu kekuasaan politik, atau peraturan
pribadi-pribadi swasta yang menurut undang-undang berlaku.
-
Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called). Hukum ini adalah
peraturan-peraturan yamg berlaku bagi suatu klub olahraga, bagi suatu pabrik,
bagi karya-karya ilmiah dsb.
Bila kita mengikuti pandangan modern
ini-yang kiranya sulit untuk ditantang-maka:
1. Bidang
yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur negara.
Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara.
2. Hukum
mengandung arti kemajemukan, sebab terdapat beberapa bidang hukum disamping negara, walaupun bidang-bidang
itu tidak mempunyai hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti sesungguhnya
adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum
lain tetap dapat disebut hukum, tetapi mereka tidak mempunyai arti yuridis yang
sesungguhnya.
4.2 Hukum Yang Legal
Hukum yang sungguh-sungguh adalah hukum
yang legal atau sah. Hukum yang tidak legal sebenarnya bukan hukum, melinkan
menyerupai tindakan kekerasan. Hukum adalah legalitas. Peraturan-peraturan yang
legal itu mempunyai kekuatan yuridis (validity),
dan karenanya berbeda dengan kebiasaan yang tidak berlaku secara yuridis.
Teori stufenbau (bangunan menurut jenjang) menentukan jenjang-jenjang
perundang-undanga. Menurut Undang-undang Dasar Republik Indonesia
jenjang-jenjang itu didahulukan oleh Pancasila, sehingga susunan
jenjang-jenjang tersebut adalah sbb:
1. Panca
Sila (PS),
2. Undang-undang
Dasar (UUD),
3. Ketetapan
MPR (TAP-MPR),
4. Undang-undang
(UU),
5. Peraturan
Pengganti Undang-undang (Perpu),
6. Peraturan
Pemerintah (PP),
7. Keputusan
Presiden (Keppres),
8. Keputusan
Menteri (Kepmen),
9. Keputusan
Dirjen dst.
4.3 Hukum Sebagai Normatif
Bila pemerintah yang sah mengeluarkan
suatu peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut
ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis, yakni peraturan itu
terasa mewajibkan, sedemikian rupa sehingga seorang yang tidak menurut
peraturan itu dapat dikritik kelakuannya, bahkan dapat dituntut hukuman
terhadapnya, melalui pengadilan, hal ini yang dimaksudkan kalau dikatakan bahwa
hukum bersifat normatif.
Bila hukum diakui sebagai normatif,
diakui bahwa huku itu mewajibkan, bahwa hukum itu harus ditaati. Ketaatan itu
tidak dapat disamakan dengan ketaatan akan suatu perintah (Austin). Hukum
ditaati, bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakngnya, melainkan karena
mewajibkan itu termasuk hukum sendiri.
Pada hakikatnya hukum adalah norma yang
mewajibkan. Hal ini jelas sebab bila suatu pemerintah tidak berhasil
mengefektifkan suatu peraturan (ump. tentang pajak), sehingga peraturan itu
kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut sebagai norma tidak hilang. Bahkan
para toko neopositivisme abad ini (a.l. Hart) menerima, bahwa salah satu unsur
hakiki hukum adalah bahwa hukum bersifat normatif, dan karenanya mewajibkan.
4.4 Masalah Hukum
Hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah
(undang-undang, leges, wetten), yang
mengatur hidup bersama, yang dibuat oleh instansi yang berwenang, dan yang
berlaku sebagai norma.
Untuk mempertahankan arti hukum sebagai
sungguh-sungguh yang mewajibkan, satu-satunya jalan yang tinggal ialah
memberikan perhatian kepada isi kaidah-kaidah hukum. Dengan isi hukum di sini bukan
objek-objek yang diatur oleh suatu kaidah hokum yang dimaksudkan, melinkan cara
suatu objek diatur; diperhatikan apakah suatu peraturan menurut isinya bersifat
adil atau tidak. Sebab tentu saja, bila suatu kaidah menurut isinya menggalang
suatu aturan yang adil, kaidah itu bernilai dan dapat ditanggapi sebagai
mewajibkan secara batin. Karenanya timbullah pertanyaan: apakah keadilan
termasuk pengertian hukum atau tidak?
Bila adil merupakan unsur konstitutif hukum,
suatu peraturan yang tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, akan tetapi
semata-mata bukan hukum: non-hukum. Kalau non-hukum, orang tidak terikat akan
peraturan yang bersangkutan, dan tindakan balasan tidak sah. Sebaliknya, bila
adil merupakan unsure regulatif bagi hukum, suatu peraturan yang tidak adil
tetap hkum walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan (walaupun hanya
secara ekstern berupa sanksi). Maka pertanyaan yang timbul berbunyi: apakah
cukuplah adanya suatu peraturan dalam
bentuk yuridis yang tepat untuk dapat disebut hukum (richtiges/correct) atau perlu juga peraturan itu sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan (gerechtes
recht/just)?
Menurut pengertian tradisional, yang
cukup kuat di Eropa, hukum pertama-tama menuju suatu aturan yang dicita-citakan
yang memang telah dirancangkan dalam undang-undang, akan tetapi belum terwujud
dan tidak pernah tidak terwujud sepenuhnya. Sesuai dengan dikhotomi (pemisahan)
ini terdapat dua istilah untuk menandakan hukum:
1. Hukum
dalam arti keadilan (keadilan: iustitia)
atau ius/Recht (dari regere= memimpin).
2. Hukum
dalam arti undang-undang atau (lex/wet). Kaidah-kaidah
yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut.
BAB 5
KO-EKSISTENSI ETIS
5.1 Eksistensi
Kata eksistensi dapat digunakan dalam
arti umum untuk menandakan “apa yang ada”, umpamanya dikatakan: eksistensi
Negara Indonesia. Akan tetapi dalam kalangan sarjana-sarjana filsafat kata
eksistensi sudah lazim digunakan untuk menandakan keberadaan manusia saja,
yakni cara manusia berada di dunia sebagai subjek
yang konkret. Deangan menggunakan kata eksistensi maksudnya mengungkapkan
bahwa manusia yang konkret (Dasein) “eksistit”,
yakni berada pada dirinya sendiri dalam batin (sistit), akan tetapi juga keluar
dari dirinya sendiri, yakni ke dunia.
Bahwa manusia berada pada dirinya
sendiri dirasakan orang tipa-tiap saat. Apa saja yang dilakukan manusia,
berpusat pada kesadaran manusia tentang dirinya, sehingga seluruh hidupnya
dialami sebagai bagian dirinya disebut dimensi immanensia. Bahwa manusia keluar dari dirinya nyata juga, manusia
tidak hidup dalam batin saja, tetapi apa yang dirasakannya dalam batin itu
adalah apa yang ada di luar dirinya, yakni dalam dunia. Dengan demikian manusia
mempunyai dimensi yang melampaui dirinya; iinilah dimensi transendensi.
Manusia sanggar subjek yang berimmanensi
dan bertransendensi bersifat dinamis. Sifat dinamis ditandai dua hal:
1. Manusia
berkembang dengan menuju ke arah masa depan.
2. Manusia
berkembang melalui tindakannya sendiri.
Dari 2 hal di atas maka muncullah ide
kunci pengertian manusia, yakni kebebasan.
5.2 Kebebasan Eksistensial
Intisari
kebebasan. Manusia memang tidak bebas untuk masuk dunia atau
tidak. Akan tetapi sesudah ditempatkan di dunia ini ia tinggal sebagai mahluk
bebas. Kebebasan itu menyangkut masa depan, bukan masa lampau. Masa pada
tiap-tiap tindakan arti dirinya dan dunia sudah ada. Atas dasar arti-arti
tersebut manusia menetukan arti-arti selanjutnya.
Dasar kebebasan yang ada pada manusia
terletak dalam hal ini, bahwa ia mempunyai suatu pandangan yang luas atas
beberapa kemungkinan yang ada pada dirinya maupun pada lapangan tindakannya.
Pandangan macam ini yang menimbulkan alternatif bertindak, disebut pandangan
universal. Lalu menyusul apa yang bersifat hakiki bagi kebebasan manusia, yakni
bahwa tindakannya/ pilihannya berasal
dari dirinya sendiri. Memang jelas bahwa saya tidak bebas bila saya bertindak,
akan tetapi tindakan saya itu tidak berasal dari inisiatif saya sendiri.
Inisiatif/pilihan sendiri merupakan unsur yang bersifat menetukan bagi
kebebasan suatu tindakan.
Dapat disimpulkan, bahwa kebebasan itu
bukan keterbatasannya, melainkan paksaan dari pihak orang lain, entah itu
paksaan fisik, yang diadakan melalui kekerasan, entah itu paksaan moril, yakni
dengan ancaman, bujukna, tipuan. Pada zaman kini dalam memaksa secara fisik
sudah digunakan metode-metode yang merusak psike orang secara batin juga,
umpamanya pembersihan otak, obat bius dan sebagainya. Karena adanya paksaan
kebebasan berkurang atau hilang.
Kebebasan berupa inisiatif atau pilihan
(bebas bertindak, bebas mamilih) disebut kebebasan “dari” yakni dari halangan
dan paksaan. Makna kebebasan. Bila
dikata bahwa intisari kebebasan ialah bahwa manusia bisa bertindak menurut
inisiatif sendiri dan pilihan sendiri, atas dasar pandangannya yang universal,
maka dengan ini makna kebebasan belum diungkapkan. Maklumlah tiap-tiap tindakan
terdiri atas tiga unsur, yakni:
1. Bertindak
atau tindakan.
2. Asal
tindakan yakni aku,
3. Tujuan
tindakan.
Makna kebebasan baru tampak bila
kebebasan dilihat dalam hubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Bila
manusia mampu mengarahkan dirinya ke arah suatu tujuan yang bernilai baginya, ia
sungguh-sungguh bebas.
Kebebasan eksestensial ini dikembangkan
melalui suatu kehidupan yang berdisiplin, yakni dengan menentukan batas bagi
kelakuannya sendiri sehingga kebebasan eksestensial ini yang disukai orang,
diisi tiap-tiap orang secara berbeda-beda.
Kebebasan eksestensial ini selayaknya
disebut “kebebasan untuk” juga, sebab disini kebebasan dipandang dari segi
tujuan. Tetapi sudah jelas bahwa istilah “kebebasan dari” dan “kebebasan untuk”
tidak hanya menunjuk dua segi kebebasan, tetapi juga menandakan dua tahap
kebebasan, malahan dua tingkat.
5.3 Kebebasan Moral
Kebebasan
rasional. Kebebasan yang sebagai eksistensial merupakan
kemampuan pribadi untuk mencapai tujuannya dapat ditanggapi secara berlainan,
bila ditentukan syarat tambahan, bahwa tujuan hidup yang hendak dicapai, harus
ada suatu tujuan yang wajar (menurut pandangan umum). Kebebasan ini disebut
rasional, sebab menuntut supaya orang insyaf tentang tujuan hidup yang
sebenarnya dan nilai-nilai yang sungguh berarti.
Ternayata kebebasan ini melibatkan suatu
unsur objektif di dalam dirinya, sebab dituntut supaya diperhitungkan fakta
hidup dan nilai-nilai hidup objektif.
1. Fakta.
Apa yang paling banyak menentukan bagi ada tidaknya suatu kebebasan rasional
ialah fakta bahwa tiap-tiap orang hidup bersama orang-orang lain.
2. Nilai-nilai. Bila
manusia berpikir tentang tindakan mana yang wajar mana yang tidak, maka ia menjadi insyaf bahwa kebebasan yang
benar tidak ditentukan oleh
kecenderungen-kecenderungan jasmani dan psikis perorangan
melainkan terutama oleh nilai-nilai universal, seperti kejujuran, keadilan, kebaikan hati dan sebagainya.
5.4 Ko-Eksistensi
Pada kenyataanya manusia hidup bersama
orang-orang lain. Kebersamaan ini nyata dalam seluruh hidup manusia, dalam
segala tindakannya. Karenanya eksistensinya yang selalu berrati juga
ko-eksistensi. ia keluar dari diri sendiri kearah sesama.
1. Bahwa
manusia tertuju kearah sesama manusia menjadi nyata di bidang biologis.
Tiap-tiap manusia yang lahir di dunia ini membutuhkan orang-orang lain untuk
dapat hidup dan berkembang. Hal ini nyata juga di bidang psikis. Manusia
membutuhkan orang lain secara psikis; tanpa orang lain ia tenggelam dalam
kesepian.
2. Ko-eksistensi
bersifat etis, bila tiap-tipa manusia dinilai sebagai mahluk yang istimewa, dan
penghargaan ini diambil sebagai prinsip aturan hidup bersama. Sikap hormat ini
berlawanan dengan sikap egois yang mengunggulkan kepentingan individual
sendiri. Sikap hormat itu memuncak dalam kerelaan hati untuk melayani sesama
manusia, bukan karena ada suatu hak padanya, tetapi karena timbullah rasa
kewajiban dalam hati sendiri.
Kesimpulannya dalam ko-eksistensi
terdapat tiga tingkat:
1. Ko-eksistensi
biologis-psikis, yang berdasarkan kebutuhan
aku. Dalam keadaan ini aku dipandang sebagai lebih tinggi daripada sesama.
2. Ko-eksistensi
etis berdasarkan kesamaan hak. Dalam
keadaan ini aku dipandang sama tinggi dengan sesame. Prinsip rasional ini
menjadi sumber hukum.
3. Ko-eksistensi
etis berdasarkan kewajiban. Dalam
keadaan ini sesame dipandang lebih tinggi daripada aku. Prinsip ini menjadi
sumber moral hidup, dan sumber hidup bersama moral, yakni aku mau tunduk kepada
sesama manusia demi suatu kehidupan yang luhur yang sesuai dengan kehendak
Tuhan.
BAB
6
HUKUM
DAN KEADILAN
Hukum sangat erat hubungannya dengan
keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan
dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum.
Pernyataan ini ada sangkut pautnya
dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi
etis di dunia ini. Hanya melalui suatu kata hokum yang adil orang-orang dapat
hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Kebenaran ini paling tampak dalam
menggunakan kata “ius” untuk menandakan hukum yang sejati. Namun ungkapan “the
rule of law” mempunyai latar belakang yang sama juga, yakni cita-cita akan
keadilan.
6.1
Hukum dan Moral
Kehendak untuk berlaku baik terhadap
sesama manusia bermuara pada suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan
prinsip-prinsip rasional dan moral. Kehendak untuk mengatur hidup menghasilkan
tiga macam norma, yakni:
1. Norma
moral yang mewajibkan tiap-tipa orang secara batiniah.
2. Norma
masyarakat, atau norma-norma sopan santun yang mengatur pergaulan secara umum.
3. Norma-norma
yang mengatur hidup bersama secara umum
dengan menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Inilah norma-norma hukum.
Nyatalah perbedaan antara norma-norma
menyangkut baik dasar norma (objektif-subjektif). Norma-norma moral bersifat
subjektif, sebab berkaitan dengan suara hati subjek, lagi menuntut untuk
sungguh-sungguh ditaati. Norma-norma sopan santun bersifat objektif, karena
berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan, lagi tidak menuntut, hanya
mengundang saja. Norma-norma hukum bersifat objektif, karena kaitannya dengan
Negara, tetapi menuntut untuk ditaati.
Perbedaan antara hukum dan moral (etika)
dapat diterangkan oleh I. Kant yang dilengkapi dengan uraian A. Reinach
(1883-1917) sebagai berikut:
-
Norma moral mengena suara hati pribadi
manusia, norma yurisdis berlaku atas
dasar suatu perjanjian.
-
Hak-hak moral tidak pernah hilang dan
tidak dapat pindah ke orang lain, sedangkan hak-hak yuridis dapat hilang dan
dapat pindah (sesuai dengan perjanjian).
-
Norma moral mengatur baik hidup batin
maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah
saja (de internis preator non iudicat).
Norma-norma moral dan norma-norma hukum
memang berbeda, akan tetapi adanya suatu hubungan yang erat antara kedua jenis
norma itu di mana-mana diakui juga.
Hubungan norma moral dan hukum
sebenarnya lebih erat lagi, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara abstrak,
secara konkrit tidak usah muncul secara terpisah. Malahan justru dengan
dijadikan norma hukum norma moral menjadi efektif bagi hidup bersama. Karenanya
kewajiban yang timbul akibat timbulnya norma-norma yuridis ada dua jenis:
-
Yang bersifat ekstern karena sanksi;
kewajiban ini bersifat yuridis belaka.
-
Yang juga bersifat intern atau moral:
kewajiban ini bersifat etis-yuridis.
Suatu norma yuridis mewajibkan secara
etis-yuridis, bila isinya menyangkut nilai-nilai dasar hidup. Inilah halnya
pertama-tama dengan tata hukum sebagai keseluruhan, yamg tertuju untuk mencegah
kekacauan dalam masyarakat.
6.2
The Rule of Law
Sistem hukum Anglo-saxon mengutamakan
“the rule of law”, “the rule of law” harus ditaati, bahkan juga bila tidak
adail. Sikap ini serasi dengan ajaran-ajaran filsafat empiris. Menurut filsafat
itu hukum, entah tertulis atau tidak tertulis, adalah peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh suatu bangsa selama sejarahnya dan telah bermuara pada suatu
perundang-undangan tertentu dan suatu praktek pengadilan tertentu. Hukum adalah
undang-undang (lex/wet). Adil tidak
merupakan unsur konstitutif pengertian hukum.
Beberapa pandangan memberikan
konsekuensi-konsekuensi mengenai hukum yaitu:
1. Pada
prinsipnya hukum tidak melebihi Negara (yang dianggap sama dengan rakyat).
Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adil. Tidak ada
instansi yang lebih tinggi. Karena kemungkinan akan ketidak adilan tetap ada,
diharapkan bahwa dalam praktek hukum, keyakinan-keyakinan rakyat dan
kebijaksanaan para hakim menghindari penyimpangan yang terlalu besar.
2. Hukum
adalah apa yang berlaku de facto, dan itulah akhirnya tidak lain daripada
keputusan hakim dan juri rakyat. Orang-orang yang hidup dalam Negara-negara
yang menganut sistem hukum ini, sadar tentang hal ini juga; hokum tidak lain
daripada apa yang ditentukan.
3. Menurut
aliran-aliran empirisme hokum sebagai sistem tidak mewajibkan secara batiniah,
sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati
oleh sebab terdapat sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman. Bila ada orang yang
taat secara batiniah, hal ini terjadi karena keyakinan agama.
6.3
Hukum Sebagai “ius”
Dalam sistem hukum yang disebut
kontinental, hukum ditanggapi sebagai terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan:
hukum adalah undang-undang yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran
filsafat tradisional, dimana pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti
hukum sebagai keadilan. Hukum ialah ius atau Recht.
Walaupun pengertian yang tradisionil ini
menyangkut segala peraturan yang disusun oleh orang untuk mengatur hidup
bersama mereka, kebanyakan orang zaman kini insyaf juga, bahwa tidak terdapat
hukum dalam arti yang penuh di luar tata hukum Negara.
Dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan
tidak menjadi hukum secara otomatis, karena berasal dari pemerintah. Hanya
peraturan yang adil disebut hukum. Maka hukum dapat didefenisikan sbb; Hukum
adalah peraturan-peraturan (undang-undang) yang dibentuk sebagai norma untuk
mengatur masyarakat secara adil (oleh instansi yang berwenang).
6.4
Hakikat Hukum
Bila kita mengikuti gagasan-gagasan
sistem hukum tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa inti pengertian hukum,
yakni hakikat hukum ialah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan
masyarakat yang adil. Pengertian tentang hakikat hukum ini berazaskan pada
beberapa pertimbangan.
1. Ternyata
semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil. Inilah
pertama-tama ditujui dengan pembentukan undang-undang, yang harus sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan. Lagipula dengan tujuan yang sama didirikan pengadilan. Pengadilan itu tugasnya ialah
memecahkan perkara-perkara yang timbul akibat perbedaan pandangan antara
warga-warga negara, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
2. Pada
umumnya hukum dialami sebagai berwibawa, sedemikian rupa sehingga hukum secara
psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang tinggal di bawah hukum tersebut. Wibawa hukum itu terletak dalam
kekuasaan pemerintah yang
menciptakannya.
3. Sejak
pertengahan abad timbullah kecenderungan untuk menyamakan hukum dengan suatu upaya (a tool) dalam membangun masyarakat, khusunya menurut aspek sosio-ekonominya (social engeneering). Perkembangan ini berjalan terus, sejajar
dengan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan
yang bersangkutan.
Kesimpulan:
Hakikat
hukum ialah: membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht). Semua arti lain menunjuk kea
rah ini sebagai arti dasar segala hukum.
Rigkasan dari buku
Dr. THEO HUIJBERS.
FILSAFAT HUKUM
PENERBIT KANISIUS.
ijin copy bos...
BalasHapusterima kasih...ini sangat membantu
BalasHapus