BAGIAN I
MASALAH HUKUM
BAB 1
HUKUM DAN FISAFAT HUKUM
1.1Gejala Hukum
Hukum muncul dalam pengalaman tiap-tiap orang.
Menurut pengalaman itu hukum pertama-tama muncul sebagai kaiah-kaidah yang
mengatur hidup bersama. Kaidah-kaidah hukum berbeda dengan kaidah-kaidah moral
dan sopan santun.
a.
Kaidah moral
tidak mengatur hidup secara hukum. Kaidah-kaidah itu biasanya disampaikan
kepada kita melalui agama.
b.
Kaidah-kaidah
sopan santun mengatur kehidupan bersama sebagi suaatu kebudayaan,namun tidak
mengaturnya secara hukum.
1.2Ilmu Hukum
Awal mula hukum adalah orang yang mempelajari hukum
secara metodis dan sistematis.
a.
Berpikir
sistematis berarti memisahkan dengan menggabungkan pengertian-pengertian,
sesuai dengan tempat pengertian-pengertian tersebut dalam suatu sistem
rasional.
b.
Berpikir metodis
berarti menggunakan metode yang tepat, sesuai dengan objek yang di pikirkan.
Studi ilmu hukum menhasilkan dua jenis ilmu hukum yang cukup berbeda.
a.
Ilmu yang
pertama tinggal dalam rangka suatu sistem tata hukum tertentu.
b.
Ilmu hukum yang
kedua tidak mengenai suatu tata hukum tertentu, hukum ini atau hukm itu, akan
tetapi mengenai hukum sebagai hukum.
1.3 Filsafat Hukum
Filsafat dalam arti teknis buka segala kebijaksanaan
hidup, melainkan hanya kebijaksanaan hidup berkaitan dengan pikiran-pikiran
rasional. Bila hukum menjadi objek filsafat artinya, bahwa di cari makna hukum,
sebagai mana nampak dalam hidup kita.
Hukum dapat dipelajari pada dua tingkat:
a.
Sebagai hukum
yang berkaitan dengan manusia sebagai manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini
buka di manusia secara abstrak melainkan secara konkret sebagai pribadi. Dengan
menyoroti hukum dalam hubungan dengan manusia secara demikian sudah kentara
merupakan subjek hukum.
b.
Sebagai hukum
yang berkaitan dengan negara. Negara bukanlah subjek hukum, tetapi sejak zaman
modern negra merupakan instansi yang tak bersyarat bagi ditetapkannya dan
dipertahankannya hukum dalam arti yuridis. Dengan merenungkan hukum sebagai
aturan negara dapat diperoleh kemampuan untuk menilai suatu sistem hukum
tertentu.
1.3 Program
Filsafat Hukum
Setelah merenungkan semuanya ini program filsafat hukum kami susun sebagaiman
di cantumkan di bawah ini :
a.
Sebagi pintu
masuk pada persoalan-persoalan yang muncul dalam memikirkan makna hukum, yakni
dari pengalaman dan pemikiran orang-orang terkemuka selama lebih dari 2000
tahun.
b.
Persoalan yang
utama, yakni tentang makna hukum yang sejati, kami bagi dalam 2 bagian lebih
dahulu, yakni tentang hakikat hukum dan azas-azas hukum. Namun oleh sebab
hakikat hukum tidak dapat dipisahkan dari praktek hukum, kemudian kami tambah
satu bagian lagi, yakni mengenai praktek hukum.
c.
Oleh sebab suatu
pemikirran yang matang tentang hukum membawa akibatnya bagi studi tentang
hukum, maka filsafat hukum ini kami akhiri dengan renungan tentang cara-cara
kita memperoleh suatu keahlian di bidang hukum.
BAB 2
PENGERTIAN
TRADISIONAL
TENTANG HUKUM
2.1Tradisi Filsafat
Hukum
Oleh
sebab hukum sudah menjadi bahan refleksi sejak dahulu kala, maka kegiatan berpikir
kita tidak dapat bertolak dari titik
nol, mau tidak mau pemikiran kita merupakan lanjutan pemikiran tentang hukum
pada zaman dulu.oleh sebab dalam lintasan sejaran pikiran-pikiran itu berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan
kebudayaan dan semangat zaman, maka ada baiknya diperhatikan sejaran
kebudayaan, sebagaimana telah diterima para ahli sejarah.
2.2Pengertian Hukum
Di Yunani Kuno
Pada
mulanya tanggapa tentang hukum pada orang-orang Yunani masih bersifat primitif:
hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos); baiks emesta alam maupun hidup manusia tinggal dibawah
hukum alamiah itu.
2.3Hukum Romawi
Pada
permulaan, yakni sejak abada ke-8 sebelum Masehi, peraturan-peraturan Romawi
hanya menyangkut kota Roma sendiri. Tapi berangsur-angsur peraturan-peraturan
negara itu menjadi lebih universal, sebab harus cocok dengan kebutuhan semua
wilayah kekuasaan Romawi, yang makin meluas. Peraturan-peraturan yang berlaku
secara universal disebut “ius gentium”, yakni suatu hukum yang diterima semua
bangsa sebagai dasar suatu kehidupan bersama yang beradab.
2.4Pengertian Hukum
Pada Zaman Pertengahan
Sejak abad pertengahan dalam tradisi filsafat hukum
lima jenis hukum disebut:
a.
Hukum abadi (lex
aeterna),
b.
Hukum ilahi
positif (lex divina positiva),
c.
Hukum alam (lex naturalis),
d.
Hukum
bangsa-bangsa (ius gentium),
e.
Hukum positif
(lex humana positiva)
BAB 3
PENGERTIAN
HUKUM PADA ZAMAN
MODERN
3.1Pengertian Hukum
Pada Zaman Baru.
Bagi para pemikir tentang hukum perubahan-perubahan
tersebut besar artinya.
a.
Sesuai dengan
mentalitas baru pembentukan hukum dianggap sebagai bagian bagian kebijakan
manusia di dunia.
b.
Organisasi
negara nasional disertai pemikiran tentang peraturan hukum yang tepat, baik
untuk dalam negeri, maupun untuk hubungan dengan luar negeri (hukum
internasional).
c.
Oleh sebab
peraturan-peraturan yang berlaku bagi negara dibuat atas perintah-perintah raja-raja, raja dipandang sebagai pencipta
hukum.
Dapat di simpulkan bahwa sejak zaman baru, tekanan
tidak terletak lagi atas hukum alam, yang di luar kebiijaksanaan manusia,
melainkan atas hukum alam positif.
3.2Pengertian Hukum Pada Zaman Aufklarung
Filsafat
hukum pada zaman itu adalah suatu usaha untk mengerti hukum sebagai bagian
suatu sistem pikiran yang lengkap yang bersifat rasional belaka. Ternyata
disini hukum positif merupakan obejek
pemikiran yang utama. Namun pada umumnya di akui juga adanya suatu hukum kodrat
yang berasal dari akal budi manusia juga dan berfungsi sebagai dasar hukum
positif.
3.3Pengertian Hukum
Pada Abad XIX
a.
Pandangan ilmiah
atas hukum
Pada
abad XIX aliran empirisme tetap kuat akan tetapi dalam bentuk baru, yang
dinamakan positivisme.
Prinsip-prinsip
positivisme hukum dapat di rigkas sebagai berikut:
-
Hukum adalah
sama dengan undang-undang,
-
Tidak terdapat
suatu hubungan mutlak antara hukum dan moral.
-
Dalam positivisme yuridis ditambah bahwa hukum
adalah suatu “closed logical system”. Peraturan-peraturan dapat didiskusikan
dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma-norma
sosial, politik dan moral.
b.
Pandangan
historis atas hukum
Abad
XIX ditandai perubahan besar disegala idang, terutam akibat perkembangan ilmu
pengetahun dan teknologi. Perubahan itu dapat diringkas dalam istilah: revolusi
industri. Karena perkembangan masyarakat yang ketat itu perhatian para pemikir
tidak hanya terarah kepada penyelidikan empiris dan ilmiah, melainkan juga
kepad gejala perkembangan itu sendiri.
3.4Pengertian hukum
abad XX
Tolak ukur di sini adalah kepentingan umum, dilihat
sebagai bagian kebudayaan dan sejarah suatu bangsa. Prinsip ini di ambil dari
aliran sosiologi hukum dan realisme hukum. Menurut pemikir lain, hukum
seharusnya dipandang sebagai bagian kehidupan etis manusia di dunia ini. Maka
disini diakui adanya suatu hubungan antara hukum positif
dengan pribadi manusia, yang berpegang pada norma-norma keadilan.
BAGIAN
II
HAKEKAT
HUKUM
BAB
4
PENGERTIAN
HUKUM
4.1 Hukum dan Undang-undang Negara
Bila kita menghadap hukum, pertama-tama
kita insyaf bahwa hukum harus dikaitkan dengan kehidupan social: “hukum adalah
pertama-tama penataan hidup sosial”. Perumusan ini masih sangat abstrak, akan
tetapi justru karenanya meliputi macam-macam bentuk hukum, bila hukum
ditanggapi secara lebih konkret, pengertiannya berbeda-beda.
Menurut John Austin (1790-1859) tokoh
positivisme terdapat macam-macam hukum yakni:
1. Hukum
Allah. Hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam
arti yang sejati.
2. Hukum
manusia yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia. Di sini harus
dibedakan antara:
-
Hukum yang sungguh-sungguh (properly so called). Hukum ini adalah
undang-undang yang berasal dari suatu kekuasaan politik, atau peraturan
pribadi-pribadi swasta yang menurut undang-undang berlaku.
-
Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called). Hukum ini adalah
peraturan-peraturan yamg berlaku bagi suatu klub olahraga, bagi suatu pabrik,
bagi karya-karya ilmiah dsb.
Bila kita mengikuti pandangan modern
ini-yang kiranya sulit untuk ditantang-maka:
1. Bidang
yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur negara.
Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara.
2. Hukum
mengandung arti kemajemukan, sebab terdapat beberapa bidang hukum disamping negara, walaupun bidang-bidang
itu tidak mempunyai hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti sesungguhnya
adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum
lain tetap dapat disebut hukum, tetapi mereka tidak mempunyai arti yuridis yang
sesungguhnya.
4.2 Hukum Yang Legal
Hukum yang sungguh-sungguh adalah hukum
yang legal atau sah. Hukum yang tidak legal sebenarnya bukan hukum, melinkan
menyerupai tindakan kekerasan. Hukum adalah legalitas. Peraturan-peraturan yang
legal itu mempunyai kekuatan yuridis (validity),
dan karenanya berbeda dengan kebiasaan yang tidak berlaku secara yuridis.
Teori stufenbau (bangunan menurut jenjang) menentukan jenjang-jenjang
perundang-undanga. Menurut Undang-undang Dasar Republik Indonesia
jenjang-jenjang itu didahulukan oleh Pancasila, sehingga susunan
jenjang-jenjang tersebut adalah sbb:
1. Panca
Sila (PS),
2. Undang-undang
Dasar (UUD),
3. Ketetapan
MPR (TAP-MPR),
4. Undang-undang
(UU),
5. Peraturan
Pengganti Undang-undang (Perpu),
6. Peraturan
Pemerintah (PP),
7. Keputusan
Presiden (Keppres),
8. Keputusan
Menteri (Kepmen),
9. Keputusan
Dirjen dst.
4.3 Hukum Sebagai Normatif
Bila pemerintah yang sah mengeluarkan
suatu peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut
ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis, yakni peraturan itu
terasa mewajibkan, sedemikian rupa sehingga seorang yang tidak menurut peraturan
itu dapat dikritik kelakuannya, bahkan dapat dituntut hukuman terhadapnya, melalui
pengadilan, hal ini yang dimaksudkan kalau dikatakan bahwa hukum bersifat
normatif.
Bila hukum diakui sebagai normatif,
diakui bahwa huku itu mewajibkan, bahwa hukum itu harus ditaati. Ketaatan itu
tidak dapat disamakan dengan ketaatan akan suatu perintah (Austin). Hukum
ditaati, bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakngnya, melainkan karena
mewajibkan itu termasuk hukum sendiri.
Pada hakikatnya hukum adalah norma yang
mewajibkan. Hal ini jelas sebab bila suatu pemerintah tidak berhasil
mengefektifkan suatu peraturan (ump. tentang pajak), sehingga peraturan itu
kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut sebagai norma tidak hilang. Bahkan
para toko neopositivisme abad ini (a.l. Hart) menerima, bahwa salah satu unsur
hakiki hukum adalah bahwa hukum bersifat normatif, dan karenanya mewajibkan.
4.4 Masalah Hukum
Hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah
(undang-undang, leges, wetten), yang
mengatur hidup bersama, yang dibuat oleh instansi yang berwenang, dan yang
berlaku sebagai norma.
Untuk mempertahankan arti hukum sebagai
sungguh-sungguh yang mewajibkan, satu-satunya jalan yang tinggal ialah
memberikan perhatian kepada isi kaidah-kaidah hukum. Dengan isi hukum di sini bukan
objek-objek yang diatur oleh suatu kaidah hokum yang dimaksudkan, melinkan cara
suatu objek diatur; diperhatikan apakah suatu peraturan menurut isinya bersifat
adil atau tidak. Sebab tentu saja, bila suatu kaidah menurut isinya menggalang
suatu aturan yang adil, kaidah itu bernilai dan dapat ditanggapi sebagai
mewajibkan secara batin. Karenanya timbullah pertanyaan: apakah keadilan
termasuk pengertian hukum atau tidak?
Bila adil merupakan unsur konstitutif hukum,
suatu peraturan yang tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, akan tetapi
semata-mata bukan hukum: non-hukum. Kalau non-hukum, orang tidak terikat akan
peraturan yang bersangkutan, dan tindakan balasan tidak sah. Sebaliknya, bila
adil merupakan unsure regulatif bagi hukum, suatu peraturan yang tidak adil
tetap hkum walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan (walaupun hanya
secara ekstern berupa sanksi). Maka pertanyaan yang timbul berbunyi: apakah
cukuplah adanya suatu peraturan dalam
bentuk yuridis yang tepat untuk dapat disebut hukum (richtiges/correct) atau perlu juga peraturan itu sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan (gerechtes
recht/just)?
Menurut pengertian tradisional, yang
cukup kuat di Eropa, hukum pertama-tama menuju suatu aturan yang dicita-citakan
yang memang telah dirancangkan dalam undang-undang, akan tetapi belum terwujud
dan tidak pernah tidak terwujud sepenuhnya. Sesuai dengan dikhotomi (pemisahan)
ini terdapat dua istilah untuk menandakan hukum:
1. Hukum
dalam arti keadilan (keadilan: iustitia)
atau ius/Recht (dari regere= memimpin).
2. Hukum
dalam arti undang-undang atau (lex/wet). Kaidah-kaidah
yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut.
BAB 5
KO-EKSISTENSI ETIS
5.1 Eksistensi
Kata eksistensi dapat digunakan dalam
arti umum untuk menandakan “apa yang ada”, umpamanya dikatakan: eksistensi
Negara Indonesia. Akan tetapi dalam kalangan sarjana-sarjana filsafat kata
eksistensi sudah lazim digunakan untuk menandakan keberadaan manusia saja,
yakni cara manusia berada di dunia sebagai subjek
yang konkret. Deangan menggunakan kata eksistensi maksudnya mengungkapkan
bahwa manusia yang konkret (Dasein) “eksistit”,
yakni berada pada dirinya sendiri dalam batin (sistit), akan tetapi juga keluar
dari dirinya sendiri, yakni ke dunia.
Bahwa manusia berada pada dirinya
sendiri dirasakan orang tipa-tiap saat. Apa saja yang dilakukan manusia,
berpusat pada kesadaran manusia tentang dirinya, sehingga seluruh hidupnya
dialami sebagai bagian dirinya disebut dimensi immanensia. Bahwa manusia keluar dari dirinya nyata juga, manusia
tidak hidup dalam batin saja, tetapi apa yang dirasakannya dalam batin itu
adalah apa yang ada di luar dirinya, yakni dalam dunia. Dengan demikian manusia
mempunyai dimensi yang melampaui dirinya; iinilah dimensi transendensi.
Manusia sanggar subjek yang berimmanensi
dan bertransendensi bersifat dinamis. Sifat dinamis ditandai dua hal:
1. Manusia
berkembang dengan menuju ke arah masa depan.
2. Manusia
berkembang melalui tindakannya sendiri.
Dari 2 hal di atas maka muncullah ide
kunci pengertian manusia, yakni kebebasan.
5.2 Kebebasan Eksistensial
Intisari
kebebasan. Manusia memang tidak bebas untuk masuk dunia atau
tidak. Akan tetapi sesudah ditempatkan di dunia ini ia tinggal sebagai mahluk
bebas. Kebebasan itu menyangkut masa depan, bukan masa lampau. Masa pada
tiap-tiap tindakan arti dirinya dan dunia sudah ada. Atas dasar arti-arti
tersebut manusia menetukan arti-arti selanjutnya.
Dasar kebebasan yang ada pada manusia
terletak dalam hal ini, bahwa ia mempunyai suatu pandangan yang luas atas
beberapa kemungkinan yang ada pada dirinya maupun pada lapangan tindakannya.
Pandangan macam ini yang menimbulkan alternatif bertindak, disebut pandangan
universal. Lalu menyusul apa yang bersifat hakiki bagi kebebasan manusia, yakni
bahwa tindakannya/ pilihannya berasal
dari dirinya sendiri. Memang jelas bahwa saya tidak bebas bila saya bertindak,
akan tetapi tindakan saya itu tidak berasal dari inisiatif saya sendiri.
Inisiatif/pilihan sendiri merupakan unsur yang bersifat menetukan bagi
kebebasan suatu tindakan.
Dapat disimpulkan, bahwa kebebasan itu
bukan keterbatasannya, melainkan paksaan dari pihak orang lain, entah itu
paksaan fisik, yang diadakan melalui kekerasan, entah itu paksaan moril, yakni
dengan ancaman, bujukna, tipuan. Pada zaman kini dalam memaksa secara fisik
sudah digunakan metode-metode yang merusak psike orang secara batin juga,
umpamanya pembersihan otak, obat bius dan sebagainya. Karena adanya paksaan
kebebasan berkurang atau hilang.
Kebebasan berupa inisiatif atau pilihan
(bebas bertindak, bebas mamilih) disebut kebebasan “dari” yakni dari halangan
dan paksaan. Makna kebebasan. Bila
dikata bahwa intisari kebebasan ialah bahwa manusia bisa bertindak menurut
inisiatif sendiri dan pilihan sendiri, atas dasar pandangannya yang universal,
maka dengan ini makna kebebasan belum diungkapkan. Maklumlah tiap-tiap tindakan
terdiri atas tiga unsur, yakni:
1. Bertindak
atau tindakan.
2. Asal
tindakan yakni aku,
3. Tujuan
tindakan.
Makna kebebasan baru tampak bila
kebebasan dilihat dalam hubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Bila
manusia mampu mengarahkan dirinya ke arah suatu tujuan yang bernilai baginya, ia
sungguh-sungguh bebas.
Kebebasan eksestensial ini dikembangkan
melalui suatu kehidupan yang berdisiplin, yakni dengan menentukan batas bagi
kelakuannya sendiri sehingga kebebasan eksestensial ini yang disukai orang,
diisi tiap-tiap orang secara berbeda-beda.
Kebebasan eksestensial ini selayaknya
disebut “kebebasan untuk” juga, sebab disini kebebasan dipandang dari segi
tujuan. Tetapi sudah jelas bahwa istilah “kebebasan dari” dan “kebebasan untuk”
tidak hanya menunjuk dua segi kebebasan, tetapi juga menandakan dua tahap kebebasan,
malahan dua tingkat.
5.3 Kebebasan Moral
Kebebasan
rasional. Kebebasan yang sebagai eksistensial merupakan
kemampuan pribadi untuk mencapai tujuannya dapat ditanggapi secara berlainan,
bila ditentukan syarat tambahan, bahwa tujuan hidup yang hendak dicapai, harus
ada suatu tujuan yang wajar (menurut pandangan umum). Kebebasan ini disebut
rasional, sebab menuntut supaya orang insyaf tentang tujuan hidup yang
sebenarnya dan nilai-nilai yang sungguh berarti.
Ternayata kebebasan ini melibatkan suatu
unsur objektif di dalam dirinya, sebab dituntut supaya diperhitungkan fakta
hidup dan nilai-nilai hidup objektif.
1. Fakta.
Apa yang paling banyak menentukan bagi ada tidaknya suatu kebebasan rasional
ialah fakta bahwa tiap-tiap orang hidup bersama orang-orang lain.
2. Nilai-nilai. Bila
manusia berpikir tentang tindakan mana yang wajar mana yang tidak, maka ia menjadi insyaf bahwa kebebasan yang
benar tidak ditentukan oleh
kecenderungen-kecenderungan jasmani dan psikis perorangan
melainkan terutama oleh nilai-nilai universal, seperti kejujuran, keadilan, kebaikan hati dan sebagainya.
5.4 Ko-Eksistensi
Pada kenyataanya manusia hidup bersama
orang-orang lain. Kebersamaan ini nyata dalam seluruh hidup manusia, dalam
segala tindakannya. Karenanya eksistensinya yang selalu berrati juga
ko-eksistensi. ia keluar dari diri sendiri kearah sesama.
1. Bahwa
manusia tertuju kearah sesama manusia menjadi nyata di bidang biologis.
Tiap-tiap manusia yang lahir di dunia ini membutuhkan orang-orang lain untuk
dapat hidup dan berkembang. Hal ini nyata juga di bidang psikis. Manusia
membutuhkan orang lain secara psikis; tanpa orang lain ia tenggelam dalam
kesepian.
2. Ko-eksistensi
bersifat etis, bila tiap-tipa manusia dinilai sebagai mahluk yang istimewa, dan
penghargaan ini diambil sebagai prinsip aturan hidup bersama. Sikap hormat ini
berlawanan dengan sikap egois yang mengunggulkan kepentingan individual
sendiri. Sikap hormat itu memuncak dalam kerelaan hati untuk melayani sesama
manusia, bukan karena ada suatu hak padanya, tetapi karena timbullah rasa
kewajiban dalam hati sendiri.
Kesimpulannya dalam ko-eksistensi
terdapat tiga tingkat:
1. Ko-eksistensi
biologis-psikis, yang berdasarkan kebutuhan
aku. Dalam keadaan ini aku dipandang sebagai lebih tinggi daripada sesama.
2. Ko-eksistensi
etis berdasarkan kesamaan hak. Dalam
keadaan ini aku dipandang sama tinggi dengan sesame. Prinsip rasional ini
menjadi sumber hukum.
3. Ko-eksistensi
etis berdasarkan kewajiban. Dalam
keadaan ini sesame dipandang lebih tinggi daripada aku. Prinsip ini menjadi
sumber moral hidup, dan sumber hidup bersama moral, yakni aku mau tunduk kepada
sesama manusia demi suatu kehidupan yang luhur yang sesuai dengan kehendak
Tuhan.
BAB
6
HUKUM
DAN KEADILAN
Hukum sangat erat hubungannya dengan
keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan
dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum.
Pernyataan ini ada sangkut pautnya
dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi
etis di dunia ini. Hanya melalui suatu kata hokum yang adil orang-orang dapat
hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Kebenaran ini paling tampak dalam
menggunakan kata “ius” untuk menandakan hukum yang sejati. Namun ungkapan “the
rule of law” mempunyai latar belakang yang sama juga, yakni cita-cita akan
keadilan.
6.1
Hukum dan Moral
Kehendak untuk berlaku baik terhadap
sesama manusia bermuara pada suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan
prinsip-prinsip rasional dan moral. Kehendak untuk mengatur hidup menghasilkan
tiga macam norma, yakni:
1. Norma
moral yang mewajibkan tiap-tipa orang secara batiniah.
2. Norma
masyarakat, atau norma-norma sopan santun yang mengatur pergaulan secara umum.
3. Norma-norma
yang mengatur hidup bersama secara umum
dengan menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Inilah norma-norma hukum.
Nyatalah perbedaan antara norma-norma
menyangkut baik dasar norma (objektif-subjektif). Norma-norma moral bersifat
subjektif, sebab berkaitan dengan suara hati subjek, lagi menuntut untuk
sungguh-sungguh ditaati. Norma-norma sopan santun bersifat objektif, karena
berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan, lagi tidak menuntut, hanya
mengundang saja. Norma-norma hukum bersifat objektif, karena kaitannya dengan
Negara, tetapi menuntut untuk ditaati.
Perbedaan antara hukum dan moral (etika)
dapat diterangkan oleh I. Kant yang dilengkapi dengan uraian A. Reinach
(1883-1917) sebagai berikut:
-
Norma moral mengena suara hati pribadi
manusia, norma yurisdis berlaku atas
dasar suatu perjanjian.
-
Hak-hak moral tidak pernah hilang dan
tidak dapat pindah ke orang lain, sedangkan hak-hak yuridis dapat hilang dan
dapat pindah (sesuai dengan perjanjian).
-
Norma moral mengatur baik hidup batin
maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah
saja (de internis preator non iudicat).
Norma-norma moral dan norma-norma hukum
memang berbeda, akan tetapi adanya suatu hubungan yang erat antara kedua jenis
norma itu di mana-mana diakui juga.
Hubungan norma moral dan hukum
sebenarnya lebih erat lagi, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara abstrak,
secara konkrit tidak usah muncul secara terpisah. Malahan justru dengan
dijadikan norma hukum norma moral menjadi efektif bagi hidup bersama. Karenanya
kewajiban yang timbul akibat timbulnya norma-norma yuridis ada dua jenis:
-
Yang bersifat ekstern karena sanksi;
kewajiban ini bersifat yuridis belaka.
-
Yang juga bersifat intern atau moral:
kewajiban ini bersifat etis-yuridis.
Suatu norma yuridis mewajibkan secara
etis-yuridis, bila isinya menyangkut nilai-nilai dasar hidup. Inilah halnya
pertama-tama dengan tata hukum sebagai keseluruhan, yamg tertuju untuk mencegah
kekacauan dalam masyarakat.
6.2
The Rule of Law
Sistem hukum Anglo-saxon mengutamakan
“the rule of law”, “the rule of law” harus ditaati, bahkan juga bila tidak
adail. Sikap ini serasi dengan ajaran-ajaran filsafat empiris. Menurut filsafat
itu hukum, entah tertulis atau tidak tertulis, adalah peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh suatu bangsa selama sejarahnya dan telah bermuara pada suatu
perundang-undangan tertentu dan suatu praktek pengadilan tertentu. Hukum adalah
undang-undang (lex/wet). Adil tidak
merupakan unsur konstitutif pengertian hukum.
Beberapa pandangan memberikan
konsekuensi-konsekuensi mengenai hukum yaitu:
1. Pada
prinsipnya hukum tidak melebihi Negara (yang dianggap sama dengan rakyat).
Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adil. Tidak ada
instansi yang lebih tinggi. Karena kemungkinan akan ketidak adilan tetap ada,
diharapkan bahwa dalam praktek hukum, keyakinan-keyakinan rakyat dan
kebijaksanaan para hakim menghindari penyimpangan yang terlalu besar.
2. Hukum
adalah apa yang berlaku de facto, dan itulah akhirnya tidak lain daripada
keputusan hakim dan juri rakyat. Orang-orang yang hidup dalam Negara-negara
yang menganut sistem hukum ini, sadar tentang hal ini juga; hokum tidak lain
daripada apa yang ditentukan.
3. Menurut
aliran-aliran empirisme hokum sebagai sistem tidak mewajibkan secara batiniah,
sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati
oleh sebab terdapat sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman. Bila ada orang yang
taat secara batiniah, hal ini terjadi karena keyakinan agama.
6.3
Hukum Sebagai “ius”
Dalam sistem hukum yang disebut
kontinental, hukum ditanggapi sebagai terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan:
hukum adalah undang-undang yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran
filsafat tradisional, dimana pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti
hukum sebagai keadilan. Hukum ialah ius atau Recht.
Walaupun pengertian yang tradisionil ini
menyangkut segala peraturan yang disusun oleh orang untuk mengatur hidup
bersama mereka, kebanyakan orang zaman kini insyaf juga, bahwa tidak terdapat
hukum dalam arti yang penuh di luar tata hukum Negara.
Dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan
tidak menjadi hukum secara otomatis, karena berasal dari pemerintah. Hanya
peraturan yang adil disebut hukum. Maka hukum dapat didefenisikan sbb; Hukum
adalah peraturan-peraturan (undang-undang) yang dibentuk sebagai norma untuk
mengatur masyarakat secara adil (oleh instansi yang berwenang).
6.4
Hakikat Hukum
Bila kita mengikuti gagasan-gagasan
sistem hukum tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa inti pengertian hukum,
yakni hakikat hukum ialah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan
masyarakat yang adil. Pengertian tentang hakikat hukum ini berazaskan pada
beberapa pertimbangan.
1. Ternyata
semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil. Inilah
pertama-tama ditujui dengan pembentukan undang-undang, yang harus sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan. Lagipula dengan tujuan yang sama didirikan pengadilan. Pengadilan itu tugasnya ialah
memecahkan perkara-perkara yang timbul akibat perbedaan pandangan antara
warga-warga negara, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
2. Pada
umumnya hukum dialami sebagai berwibawa, sedemikian rupa sehingga hukum secara
psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang tinggal di bawah hukum tersebut. Wibawa hukum itu terletak dalam
kekuasaan pemerintah yang
menciptakannya.
3. Sejak
pertengahan abad timbullah kecenderungan untuk menyamakan hukum dengan suatu upaya (a tool) dalam membangun masyarakat, khusunya menurut aspek sosio-ekonominya (social engeneering). Perkembangan ini berjalan terus, sejajar
dengan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan
yang bersangkutan.
Kesimpulan:
Hakikat
hukum ialah: membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht). Semua arti lain menunjuk kea
rah ini sebagai arti dasar segala hukum.
BAGIAN 3
AZAS-AZAS HUKUM
BAB 7
PRINSIP –PRINSIP HUKUM OBJEKTIF
7.1
Azas-Azas
Azas-azas Hukum adalah prinsip yang di anggap sebagaio dasar
yang sangat fundamental hukum. Azas ini merupakan suayau pengertian dan nilai yang menjadai
suatu titik tolak tentang cara berpikir tentang hukum, pemikiran dalam pembentukan
Undang-undang da interpretasi undang-undang
tersebut. Oranf berkeyakinan bahwa manusia tidak dapat membentuk suatu
undang-undang dengan sewenang-wenang,
harus dengan ada nya prinsip yang lebih tinggi dari hukum Objektif dan
Subjektif.
Azas Hukum Objektif adalah prinsip
yang menjadai dasra pembetukan peraturan Hukum, sedangkan Azas Hukum Subjektif
adalah prinsip yang menyatakan kedudukan subjek berhubungan dengan hukum.
Dalam pembagiannnya Azas Hukum dibagi
atas tiga jenis:
1. Azas
Huku Objektif yang bersifat moral,adalah prinsip yang sudah ada sejak jaman
klasik dan abad pertengahan.
2. Azas
Hukum Objektif yang bersifat Rasional yaitu prinsip yang termasuk pengertian
hukum dan sturan hukum dan aturan hidup
bersama yang rasional.
3. Azas
Hukum Subjektif yang bersifat moral maupun rasional, adalah hak yang ada pada
manusia yang menjadi titik tolask pembentukan
Hukum.
7.2 Hukum Kodrat
Pemikir zaman dahulu umumnya
menerima suatu hukum yang berbeda dari pada Hukum positif, yang disebut hukum
alam atau hukum Kodrat. Hukum itu tidak tertulis namun ditanggapi orang sebagai
Hukum.disebabkan apa yang termasuk aslm manusia sendiri, yakni Kodratnya. Hukum
juga tidak berubah untuk segala jaman. Hukum itu lebih kuat dari hukum positif
, sebab menyangkutr makna kehidupan manusia itu sendiri karenanya hukum itu
mendahului huku yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai azas
bagi nya (Hukum adalah aturan)
Perkembangan Hukum Kodrat
dalam Sejarah:
1. Zaman
Klasik (Aristoteles, Warga polis yang mempunyai hak yuridis)
2. Zaman
Pertengahan (Thomas Aquinas, prinsip segala hukum positif yang berhubungan
dengan manusia dan dunia sebagai ciptaan).
3. Zaman
Rasionalisme (Hukum kodrat sebagai pernyataan akal budi praktis manusi).
4. Awal
Abad XX (Messenener, Hukum kodrat sama dengan hukum prinsip dasar bagi
kehidupan social individual)
Karena pada zaman sekarang ini diterima adanya
prinsip yang harus digunakan dalam penyusunan peraturan, tetapi prinsip itu
pada umumnya tidak dipandang lagi sebagai prinsip abadi. Hanya prinsip umum
saja yang dipandang sebagai prinsip dasar, misalnyaHak Manusia menghadapa
pengadilan. Maka hanya sedikit yang natural Law.Namun dilakukan penggantian
prinsip hukum kodrat yang lama yang sekarang ini menjadi prinsip , Keadila,
Kejujuran, Kesopanan dll yang terkandung dalam etika yang berfungsi sebagai
dasar dan Norma Hukum yang emiliki ketetapan, akan tetapi juga suatau
kelonggaran untuk berubah sesuai dengan Zaman.
Karenanya
para ahli hukum senantiasa berusaha untuk melembagakan
(menginstutisonolasisaikan) prinsip hukum yang memamsukkan nya kedala undang –
undang yang tentu saja prinsip yang lama
menjadi bahan pertimbangan bagi para ahli rasional, mereka itu dnegan
mudah memasukkan kedalam tata hukum.
Dengan
adanya usaha melembagakan prinsip hukum, dapat terjadi bahwa prinsip yang belum
dikodifikasikan dianggap sebagai hukum yang berlaku, yakni sebagai hukum
kodrat. Para penganut positive cenderung
untuk memandang prinsip hukum sebagai prinsip regulative saja, yakni prinsip yang
berfungsi sebagai pedokan bagi terbentuknya hukum.Artinya Prinsip tersebut
harus diindahkan pada saat undang –undang itu dibetuntuk, akan tetapi bila
tidak diindahkan , undang-undang yang yang disetujui tetap berlaku juga.
7.3 Azas Rasional Dan Moral
Perbedaan danatar azas hukum rasional
dan azas hukum moral terletak dalam hal, bahwa azas hukum rasional umumnya
dianggap sebagai bertalian dengan suatu atura hidup bersama yang asuk akal, dan
sebagai titik tolak bagi pembentukan suatu tata hukum yang baik. Sedangkan Azas
Huku Moral lebih dipandang sebagai unsur Idiil, yang belum tentu dapat
diwujudkan dalam tata hukum yang direncanakan.
1. Azas
Rasional Hukum,yang disebut baik azas bagi hukum Objektif maupun bagi hukum
objektif, antara lain ;
-
Hak Manusia sebgaai pribadi.
-
Kepentingan Masyarakat.
-
Kesamaan
hak didepan pengadilan.
-
Perlindnugan terhadap yang kurang mampu.
-
Tidak ada ganti rugi tanpa kesalahan.
2. Azas
Moral Hukum yang paling umum adalah Lakukanlah yang baik, hindarkan yang jahat,
Hiduplah secara terhormat,jangan merugikan orang lain, yang dianggap sebagai
hukum kodrat dan entah huku yang dianggap berkaitan dengan kehendak Tuhan atau
tidak.
7.4 Azas Hukum Dan Agama
Bahwa Hukum yang harus berpedoman pada
prinsip moral tidak hanya diterima orang. Oleh sebab itu sesuai dengan
keyakinan hati nurani tetapi juga sebab diperintahka oleh agama. Dalam ajaran
agama juga terdapat norma yang mengatur tentang tata cara mengatur kehidupan
salam masyarakat dan hidup bersama. Manusi tidak mampu menentukan norma kehiduopan
dengan menggunakan akal budi nya saja, satu-satunya sumber prinsip hukum yang
dapat diandalkan adalah wahyu dari Tuhan.Agama dan hukum tidak memiliki suatu
ikatan yang berdsarkan logika belaka, karena huku itu tidak tergantung dari
wahyu dan harus didekati pertama secara rasional, dan yang harus diperhiungkan
adalah bahwa ajaran agama yang sehat dapat membimbing akal budi unutk menemukan
pinsip yang tepat.
BAB
8
Hak-Hak
Manusia
8.1 Hak dan Kewajiban
Dari
segi tradisional dapat dibedakan atara Hak dan Kewajiban :
-
Hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap
anusia sebagai sebab berkaitan dengan Realitas kehidupa manusia itu sendiri,
yang seacam itu tidak perlu direbut
karena sudah ada dan tidak tergantung dari persetujuan orang lain dan
tidak dapat dicabut oleh siapapun di dunia ini.Namun pada keyataannya tidak
selalu hak itu selalu di akui oleh orang, perlu timbulnya kesadaran tentang hak
itu terlebih dahulu.
-
Hak yang ada pada manusia akibat adanya
peraturan hak yang berdasarkan undang-undang . Hak itu tidak langsung
berhubungan dengan martabat manusia, tetapi akan menjadi hak sebab tertampoung
dalam undang-undang yang sah. Jelasnya hak itu dapat dituntut di depan
pengadilan.
8.2 Martabat Manusia
Degan menyebut manusia menurut martabatnya
dimaksudkan, bahwa menuais merupakan suatu mahluk yang istimewa yang tidak ada
bandingnya disunia. Tetapi terdapat perbedaan pandangan tentang hak mana yang
sebenarnya merupakan hak manusia itu. Teori yang paling sering muncul dalam
sejarah pikiran manusia, ialah bahwa keistimewaan manusid terletak dalam wujud
keistimewaan manusid yang bersifat rasional.Hak yang didapati rasional bersifat
abadi dan tetap berlaku yang harus diindahkan oleh setiap orang dan Negara
untuk membuat kesadaran akan hak dasar
ilmiah tersebut.
Terdapat hak pada anusid, ahkan hak abadi,
namun hak abadi itu tidak dapat ditemukan pada manusia tanpa wahyu. Manusid tidak mampu
mengetahuinya sebab manusia itu sendiri berdosa, sehingga tersesat untuk
menemukannya, namun yang sejatinya hanya dapat ditemukan berdasrkan wahyu.
Dalam mengambil martabat manusia sebagai
motif suatu putusan, para hakim biasanya tidak menyinggung soal teoritis,
seperti apa artinya kodrat manusia, spesifik manusia sebagai subjek sudah
mencukupi.
8.3 Hak-Hak Azasi
Hak manusia disebut hak-hak azasi, oleh
sebab iu mereka itu dianggap sebagai fundamen yang di atasnya seluruh
organisasi hidup bersama harus dibangun. Hak itu erupakan hakl azas undang-undang.
Prinsip
yang terkandung dalam pegakuan manusid sebagai subjek hukum mulai dirumuskan
sebagai bagian integral tata hukum. Perumusan tentang Hak manusia yang
terpenting:
-
Magna Catra (manusia mempunyai hak
unutuk mengahadap).
-
The Virginia Bill Of Rights (manusia
berhak akan ‘ life, liberty, the persuit of happiness).
-
Declaratioandes droits.
-
Deklarasi tentang hak –hak manusia yang
berkarya dan diperas yang menitik beratkan hak social.
Namun
biasanya hak azasi dibagi:
a) Hak
Funfamental yang melekat pada pribadi manusia individual: hak atas hidup dan
berkembang hidup.
b) Hak
yang melekat pada pribadi manusia itu sendiri sebagai mahluk social sebagi
dalam hak ekonomis, social dan cultural. Hak manusia menyangkut hak untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidup.
Telah disusun daftar hak-hak manusia yang
umumnya diakui pada zaman sekarang. Dokumen Hak azasi PBB yang erupakan dokuen
Internasional yang pertama tentang hak azasi.
a) Manusia
mempunyai hak kebebasan politik, tipa pribadi manusia harus dilindungi terhadap
penyelewengan dari pihak pemerintah.
b) Manusia
mempunyai hak social , yakni hak unutk memenuhi kebutuhan pokok, Sandang ,
Pangan perawatan kesehatan dan pendidikan
c) Manusia
mempunyai hak sipil dan politik dalam menentukan pemerintahan dan policy
pemerintahan tersebut.
BAGIAN 4
PRAKTEK
HUKUM
BAB 9
POLITIK HUKUM
9.1Nara Sumber
Hukum
Pada jaman
dahulu dengan religius yang baru di percaya oleh pada jaman dahulu kala hukum
adalah merupakan kehendak dari seorang raja dan adakan dilaksanakan oleh
seluruh rakyatnya dimana sebuah hukum adalah merupakan keinginan dari allanya
masing masing yang diaggap memang adalah perintah yang harud dilaksanakan.
Namun seiring perubahan jaman manusia makin meneliti bagai
mana hukum tersebut dibuat dan benrpikir bahwa hukum itu tidak sepenuhnya
merupakan perintah penguasa bahkan pencipta semesta, melainkan adanya campur
tangan manusia mempunyai kesempatan dalam pembuatan hukum tersebut.
9.2Hukum dan
Kekuasaan
Hukum
dengan kekuasaan mempunayi hubungan yang sangat erat, dimana seorang penguasa
maka hukum yng digunakan merupakan hukum yang menurut dia dapat menguntungkan
situasi politnya, sehingga apabila kekuasaan di sandingkan dengan hukum, maka
output dari hukum itu sendiri tidak sesuai dengan yang di inginkan oleh para
masyarakat luas.
9.3Hukum dan
Masyarakat
Tujuan
suatu bangsa adalah mensejahtrakan masyarakatnya sehingga apabila hukum harus
berdasar dari kondis dari masyarakatnya baik bentuk adat istiadat, bahasa,
kesenian, adat istiadat, moral agama sehingga hukum yang akan dibentuk selaras
dengan keinginan masyarakat untuk melakukan aktiviasnya masing – masing yang
menjadi objek untuk dikelolah oleh pemerintah.
9.4Tujuan
Politik Hukum
Kepastian
hukum adalh menjadi tujuan hukum yang sebenarnya sehingga dengan keefektifan
hukum maka kepastian hukum terjamin dan bila pemerintah mempunyai sarana yang
secukupnya untuk memastiakan peraturan- peraturan yang ada maka telah tersedia
aparat negara dalam menegakkan hal tersebut yaitu, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
BAB 10
PENGADILAN
10.1
Legalisme
Dalam masyarakat yang sudah memahami tentang pengadilan
maka akan bepikir secara rasional dengan penyelesaian – penyelesaian perkara
yang kongkrit.
Terhadap pandangan rasionalistis ini dikatakan:
a.
Legalisme murni tidak
mungkin dimana semua penerapan kaidah – kaidah hukum yang umum dan abstrak pada
perkara-perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum baru
b.
Putusan seorang hakim tidak
dapat diputuskan secara logis dari peratuaran-peraturan yang berlaku. Sebab
aturan itu tidak sempurna, juga salah dan kurang tepat yang membuat ketidak
adilan.
10.2 Ajaran Hukum Bebas
Ajaran
hukum bebas terdapat di hukum Amerika dimana ajaran hukum tidak terikat pada undang–undang namun kebijakan Hakim yang
ditentukan dari hasil praktek didalam pengadilan sehingga hakim mempunyai kuasa
penuh. Teori–teori dalam undang–undang kurang di pedulikan oleh Hakim sebagai
pengambil keputusan yang membuat ke istimewaan undang–undang tersebut menjadi
hilang.
10.3 Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap
Begriffsjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman
Interessenjurisprudenz, suatu aliran yang menitikberatkan pada
kepentingan-kepentingan (Interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran
ini disebut Interessenjurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami
masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke 20 di
Jerman.
Aliran ini berpendapat bahwa
peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka,
tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Menyadari bahwa sistematisasi hukum
tidak boleh dibesar-besarkan, maka von Jhering mengarah kepada tujuan yang
terdapat di belakang sistem dan merealisasi “idée keadilan dan kesusilaan yang ta’ mengenal waktu”. Aliran
ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi,
memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam
putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
Philip Heck, yang termasuk
salah seorang penganut aliran ini, berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang
kepentingan sosial, moral, ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam
peristiwa tertentu atau yang berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan
atau penerapan hukum yang tepat dan berarti, tidak mungkin.
10.4 Idealisme Yuridis Baru
Salah satu pokok
pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem perundang-undangan yang merupakan
titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit
yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah sesuatu yang penuh dengan
kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk
dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit, tetapi lebih merupakan usulan untuk
penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan hukum, dan dalam kaitan itu masih
banyak faktor-faktor
penting lainnya yang dapat digunakan
untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.
Di
Indonesia seorang hakim harus mengindahkan nilai - nilai yang terdapat dalam
masyarakat ( UU no 14 tahun 1970, pasal 27) dilain pihak juga para hakim untuk
tetap mengindahkan UU yang baku, karena tidak cukuplah bagi seorang hakim untuk
memupuk rasa keadilan sosial yang tinggi.
BAGIAN 5
DISIPLIN
HUKUM
BAB 11
ILMU HUKUM
11.1 Ilmu-ilmu Hukum
Ilmu-ilmu
tersebut menyumbang bagi pengertian–pengertian hukum dab praktek hukum yang
tepat akan tetapi tidak menjadi bahan pokok ilmu hukum
a. Sosiologi
hukum menyelidiki situasi sosial–ekonomi masyarakat yang menyebabkan adanyanya suatu
itu peraturan hukum tertentu.
b. Psikologi
hukum menyelidiki perasaan–perasaan prikologis yang relevan dibidang hukum
c. Sejarah
Hukum mempelajari perkembangan hukum dari jaman ke jaman
d. perbandingan
hukum mempelajari kesamaan dan perbedaan beberapa sistem tata hukum
11.2 Penafsiran Undang – undang
Penafsiran penambah
Yang dimaksud dengan
penafsiran penambah adalah penasiran terhadap suatu undang undang dengan
memberikan komentar – komentar yang menghilangkan rasa samar samar terhadap
maksud dan tujuan undang – ungdang tersebut.
Penafsiran Pelengkap
Maksudnya adalah penafsiran
yang dibuat dengan untuk melengkapi untuk menjelaskan maksud dan tujuan yg
terkadung dalam teks undang – undang tersebut. Sehingga rasa keadilan yang
terkandung dalam undang – undang tersebut menjadi lebih jelas dan mudah
dipahami.
Penafsiran Budaya
Penafsiran ini adalah
penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinan-keyakinan suatu
masyarakat tertentu. Keyakinan ini tidak bersifat politik melainkan bersifat
sosial – etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat tertentu diangap layak
atau tidak.
11.3 Ilmu hukum dan Praktek Hukum
Penafsiran
undang - undang dapat dilakukan oleh semua orang tergantung pada arah hukum itu
dilakukan bagai mana dan keperluannya untuk apa, dan penafsiran akan berubah
arti apabila si penafsir berada disalah satu sisi pada hukum tersebut sehingga
apa yang menjadi buah pikirannya menjadi tidak mencerminkan keadilan sebagai
mana yang dibutuhkan oleh sebuat hukum adalah keadilan.
11.4 Rasionalitas ilmu hukum
Badan Peradilan yang tertinggi di Indonesia adalah
Mahkamah Agung, sedangkan Badan Peradilan yang lebih rendah yang berada di
bawah Mahkamah Agung adalah :
|
a.
|
Badan Peradilan Umum
|
||
-
|
Pengadilan Tinggi
|
|||
-
|
Pengadilan Negeri
|
|||
b.
|
Badan Peradilan Agama
|
|||
-
|
Pengadilan Tinggi Agama
|
|||
-
|
Pengadilan Agama
|
|||
c.
|
Badan Peradilan Militer
|
|||
-
|
Pengadilan Militer Utama
|
|||
-
|
Pengadilan Militer Tinggi
|
|||
-
|
Pengadilan Militer
|
|||
d.
|
Badan Peradilan Tata Usaha Negara
|
|||
-
|
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
|
|||
-
|
Pengadilan Tata Usaha Negara
|
|||
Dalam melaksanakan tugasnya Mahkamah Agung (MA) merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang terlepas dari kekuasaan pemerintah. Kewajiban Dan Wewenang MA menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah:
- Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
- Mengajukan
3 orang anggota Hakim Konstitusi
- Memberikan
pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi.
BAB 12
KEAHLIAN SARJANA HUKUM
12.1 Kesenian Hukum
Pokok ilmu
hukum adalah undang – undang yang berlaku dan metode yang khas adalah
penafsiran undang – undang tersebut dalam hubungan dengan praktek hidup dengan
segala segi, namun ilmu hukum tidak hanya mengenai undang – undang yang
dirancangkan. Pekerjaan ilmiah ini paling dekat dengan hakikat hukum sebagai mahluk sosial yang hidup bersama –
sama di dunia ini manusia berwajib menciptakan suatu atuaran hidup bersam
dengan adil.
12.2 Pembentukan Undang – Undang
Undang –
undang dibentuk sesuai dengan kepoerluan masyarakat luas dengan tanpa memandang
status dan kondisi warganya yang membuat dampak sangat kecil dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dengan
kata lain pembentukan hukum dibuat untuk menjaga setiap bentuk kehidupan
manusia terutama dalam Idiologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan ( IPOLEKSUSBUDHANKAM)
dan selalu di upayakan adalah untuk mendukung kepentingan masyarakat agar
terdapat yang disebut dengan keadilan sosial bagi kesejahrtaan bangsa.
Adapun
mekanisme yang harus ditempuh dalam pembuatan undang – undang tersebut juga
sangat penting dimana bertujuan untuk menghasilkan suatu undang – undang yang
benar - benar memperhatikan selurh aspek kehidupan, bukan hanya mengatur
kepantingan – kepentingan kelompok marginal / elit namun sampai kelompok
kalangan bawah. Sehingga terdapat keseimbangan sosial yang merata.
12.3 Renungan tentang makna hukum
Penyelidikan tetang hukum, yang menyangkut hukum sebagai hukum:
a)
apa arti hukum sebenarnya,
yang beralaskan pada akal budi praktis, sebab merupakan hasil kehendak bebas
dan otonom manusia yang membangun hidupnya.
b)
Manaka prinsip – prinsip
umum hukum yang berlaku di mana – mana, sebab termasuk pengertian hukum manakah
asalnya, makah tujuannya.
12.4 Pemeliaharaan Hukum
Seorang
sarjana hukum adalah seorang ahli dibidang hukum, yang tahu tetang hukum secara
ilmiah yakni metodis dan sistematis. Sesuai dengan uraian diatas struktur
disiplin hukum adalah sebagai berikut:
a.
Ilmu hukum yang mengenai ilmu hukum atau ilmu
hukum sistematis.
b.
Kesenian hukum yang mengenai
pembentukan hukum
c.
Filsapat hukum makna dan
dasar hukum
d.
Ilmu –ilmu hukum seperti
sosiologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum.
Seorang sarjana hukum juga harus mampu:
a.
Menafsirkan undang-undang
yang berlaku secara tepat
b.
Membentus undang -undang
secara tepat.
Seorang sarjana juga harus mampu bersikap:
a.
Sikap kemanusian, supaya ia
jangan menanggapi hukum secara formal belaka.
b.
Seikap keadilan, untuk
mencari apa yang layak bagi masyrakat.
c.
Sikap kepatutan, sebab
perlukan pertibangan tetang apa yang sungguh - sungguh adil dalam suatu perkara
kongkrit.
d.
Sikap jujur tidak ikut
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers, Theo. 1962.
Filsafat Hukum. Kanisius. Djakarta