Senin, 25 Maret 2013

FILSAFAT HUKUM








BAGIAN I
MASALAH HUKUM








BAB 1
HUKUM DAN FISAFAT HUKUM

1.1Gejala Hukum
Hukum muncul dalam pengalaman tiap-tiap orang. Menurut pengalaman itu hukum pertama-tama muncul sebagai kaiah-kaidah yang mengatur hidup bersama. Kaidah-kaidah hukum berbeda dengan kaidah-kaidah moral dan sopan santun.
a.     Kaidah moral tidak mengatur hidup secara hukum. Kaidah-kaidah itu biasanya disampaikan kepada kita melalui agama.
b.     Kaidah-kaidah sopan santun mengatur kehidupan bersama sebagi suaatu kebudayaan,namun tidak mengaturnya secara hukum.

1.2Ilmu Hukum
Awal mula hukum adalah orang yang mempelajari hukum secara metodis dan sistematis.
a.     Berpikir sistematis berarti memisahkan dengan menggabungkan pengertian-pengertian, sesuai dengan tempat pengertian-pengertian tersebut dalam suatu sistem rasional.
b.     Berpikir metodis berarti menggunakan metode yang tepat, sesuai dengan objek yang di pikirkan.

Studi ilmu hukum menhasilkan dua jenis ilmu hukum yang cukup berbeda.
a.     Ilmu yang pertama tinggal dalam rangka suatu sistem tata hukum tertentu.
b.     Ilmu hukum yang kedua tidak mengenai suatu tata hukum tertentu, hukum ini atau hukm itu, akan tetapi mengenai hukum sebagai hukum.

1.3 Filsafat Hukum
Filsafat dalam arti teknis buka segala kebijaksanaan hidup, melainkan hanya kebijaksanaan hidup berkaitan dengan pikiran-pikiran rasional. Bila hukum menjadi objek filsafat artinya, bahwa di cari makna hukum, sebagai mana nampak dalam hidup kita.
Hukum dapat dipelajari pada dua tingkat:
a.        Sebagai hukum yang berkaitan dengan manusia sebagai manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini buka di manusia secara abstrak melainkan secara konkret sebagai pribadi. Dengan menyoroti hukum dalam hubungan dengan manusia secara demikian sudah kentara merupakan subjek hukum.
b.       Sebagai hukum yang berkaitan dengan negara. Negara bukanlah subjek hukum, tetapi sejak zaman modern negra merupakan instansi yang tak bersyarat bagi ditetapkannya dan dipertahankannya hukum dalam arti yuridis. Dengan merenungkan hukum sebagai aturan negara dapat diperoleh kemampuan untuk menilai suatu sistem hukum tertentu.

1.3 Program Filsafat Hukum
Setelah merenungkan semuanya ini  program filsafat hukum kami susun sebagaiman di cantumkan di bawah ini :
a.     Sebagi pintu masuk pada persoalan-persoalan yang muncul dalam memikirkan makna hukum, yakni dari pengalaman dan pemikiran orang-orang terkemuka selama lebih dari 2000 tahun.
b.     Persoalan yang utama, yakni tentang makna hukum yang sejati, kami bagi dalam 2 bagian lebih dahulu, yakni tentang hakikat hukum dan azas-azas hukum. Namun oleh sebab hakikat hukum tidak dapat dipisahkan dari praktek hukum, kemudian kami tambah satu bagian lagi, yakni mengenai praktek hukum.
c.      Oleh sebab suatu pemikirran yang matang tentang hukum membawa akibatnya bagi studi tentang hukum, maka filsafat hukum ini kami akhiri dengan renungan tentang cara-cara kita memperoleh suatu keahlian di bidang hukum.


















BAB 2
PENGERTIAN
TRADISIONAL TENTANG HUKUM
2.1Tradisi Filsafat Hukum
Oleh sebab hukum sudah menjadi bahan refleksi sejak dahulu kala, maka kegiatan berpikir kita tidak dapat bertolak  dari titik nol, mau tidak mau pemikiran kita merupakan lanjutan pemikiran tentang hukum pada zaman dulu.oleh sebab dalam lintasan sejaran pikiran-pikiran itu  berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan semangat zaman, maka ada baiknya diperhatikan sejaran kebudayaan, sebagaimana telah diterima para ahli sejarah.

2.2Pengertian Hukum Di Yunani Kuno
Pada mulanya tanggapa tentang hukum pada orang-orang Yunani masih bersifat primitif: hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos); baiks emesta alam maupun hidup manusia tinggal dibawah hukum alamiah itu.

2.3Hukum Romawi
Pada permulaan, yakni sejak abada ke-8 sebelum Masehi, peraturan-peraturan Romawi hanya menyangkut kota Roma sendiri. Tapi berangsur-angsur peraturan-peraturan negara itu menjadi lebih universal, sebab harus cocok dengan kebutuhan semua wilayah kekuasaan Romawi, yang makin meluas. Peraturan-peraturan yang berlaku secara universal disebut “ius gentium”, yakni suatu hukum yang diterima semua bangsa sebagai dasar suatu kehidupan bersama yang beradab.

2.4Pengertian Hukum Pada Zaman Pertengahan
Sejak abad pertengahan dalam tradisi filsafat hukum lima jenis hukum disebut:
a.     Hukum abadi (lex aeterna),
b.     Hukum ilahi positif (lex divina positiva),
c.      Hukum alam (lex  naturalis),
d.     Hukum bangsa-bangsa (ius gentium),
e.      Hukum positif (lex humana positiva)












BAB 3
PENGERTIAN
HUKUM PADA ZAMAN MODERN

3.1Pengertian Hukum Pada Zaman Baru.
Bagi para pemikir tentang hukum perubahan-perubahan tersebut besar artinya.
a.     Sesuai dengan mentalitas baru pembentukan hukum dianggap sebagai bagian bagian kebijakan manusia di dunia.
b.     Organisasi negara nasional disertai pemikiran tentang peraturan hukum yang tepat, baik untuk dalam negeri, maupun untuk hubungan dengan luar negeri (hukum internasional).
c.      Oleh sebab peraturan-peraturan yang berlaku bagi negara dibuat atas perintah-perintah  raja-raja, raja dipandang sebagai pencipta hukum.
Dapat di simpulkan bahwa sejak zaman baru, tekanan tidak terletak lagi atas hukum alam, yang di luar kebiijaksanaan manusia, melainkan atas hukum alam positif.

3.2Pengertian  Hukum Pada Zaman Aufklarung
Filsafat hukum pada zaman itu adalah suatu usaha untk mengerti hukum sebagai bagian suatu sistem pikiran yang lengkap yang bersifat rasional belaka. Ternyata disini hukum positif  merupakan obejek pemikiran yang utama. Namun pada umumnya di akui juga adanya suatu hukum kodrat yang berasal dari akal budi manusia juga dan berfungsi sebagai dasar hukum positif.

3.3Pengertian Hukum Pada Abad XIX
a.     Pandangan ilmiah atas hukum
Pada abad XIX aliran empirisme tetap kuat akan tetapi dalam bentuk baru, yang dinamakan positivisme.
Prinsip-prinsip positivisme hukum dapat di rigkas sebagai berikut:
-         Hukum adalah sama dengan undang-undang,
-         Tidak terdapat suatu hubungan mutlak antara hukum dan moral.
-         Dalam positivisme yuridis ditambah bahwa hukum adalah suatu “closed logical system”. Peraturan-peraturan dapat didiskusikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma-norma sosial, politik dan moral.
b.     Pandangan historis atas hukum
Abad XIX ditandai perubahan besar disegala idang, terutam akibat perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi. Perubahan itu dapat diringkas dalam istilah: revolusi industri. Karena perkembangan masyarakat yang ketat itu perhatian para pemikir tidak hanya terarah kepada penyelidikan empiris dan ilmiah, melainkan juga kepad gejala perkembangan itu sendiri.

3.4Pengertian hukum abad XX
Tolak ukur di sini adalah kepentingan umum, dilihat sebagai bagian kebudayaan dan sejarah suatu bangsa. Prinsip ini di ambil dari aliran sosiologi hukum dan realisme hukum. Menurut pemikir lain, hukum seharusnya dipandang sebagai bagian kehidupan etis manusia di dunia ini. Maka disini diakui adanya suatu hubungan antara hukum positif dengan pribadi manusia, yang berpegang pada norma-norma keadilan.






BAGIAN II

HAKEKAT HUKUM














BAB 4
PENGERTIAN HUKUM

4.1 Hukum dan Undang-undang Negara
Bila kita menghadap hukum, pertama-tama kita insyaf bahwa hukum harus dikaitkan dengan kehidupan social: “hukum adalah pertama-tama penataan hidup sosial”. Perumusan ini masih sangat abstrak, akan tetapi justru karenanya meliputi macam-macam bentuk hukum, bila hukum ditanggapi secara lebih konkret, pengertiannya berbeda-beda.
Menurut John Austin (1790-1859) tokoh positivisme terdapat macam-macam hukum yakni:
1.     Hukum Allah. Hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam arti yang sejati.
2.     Hukum manusia yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia. Di sini harus dibedakan antara:
-         Hukum yang sungguh-sungguh (properly so called). Hukum ini adalah undang-undang yang berasal dari suatu kekuasaan politik, atau peraturan pribadi-pribadi swasta yang menurut undang-undang berlaku.
-         Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called). Hukum ini adalah peraturan-peraturan yamg berlaku bagi suatu klub olahraga, bagi suatu pabrik, bagi karya-karya ilmiah dsb.

Bila kita mengikuti pandangan modern ini-yang kiranya sulit untuk ditantang-maka:
1.     Bidang yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara.
2.     Hukum mengandung arti kemajemukan, sebab terdapat beberapa bidang  hukum disamping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain tetap dapat disebut hukum, tetapi mereka tidak mempunyai arti yuridis yang sesungguhnya.

4.2 Hukum Yang Legal
Hukum yang sungguh-sungguh adalah hukum yang legal atau sah. Hukum yang tidak legal sebenarnya bukan hukum, melinkan menyerupai tindakan kekerasan. Hukum adalah legalitas. Peraturan-peraturan yang legal itu mempunyai kekuatan yuridis (validity), dan karenanya berbeda dengan kebiasaan yang tidak berlaku secara yuridis.
Teori stufenbau (bangunan menurut jenjang) menentukan jenjang-jenjang perundang-undanga. Menurut Undang-undang Dasar Republik Indonesia jenjang-jenjang itu didahulukan oleh Pancasila, sehingga susunan jenjang-jenjang tersebut adalah sbb:
1.     Panca Sila (PS),
2.     Undang-undang Dasar (UUD),
3.     Ketetapan MPR (TAP-MPR),
4.     Undang-undang (UU),
5.     Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu),
6.     Peraturan Pemerintah (PP),
7.     Keputusan Presiden (Keppres),
8.     Keputusan Menteri (Kepmen),
9.     Keputusan Dirjen dst.

4.3 Hukum Sebagai Normatif
Bila pemerintah yang sah mengeluarkan suatu peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis, yakni peraturan itu terasa mewajibkan, sedemikian rupa sehingga seorang yang tidak menurut peraturan itu dapat dikritik kelakuannya, bahkan dapat dituntut hukuman terhadapnya, melalui pengadilan, hal ini yang dimaksudkan kalau dikatakan bahwa hukum bersifat normatif.
Bila hukum diakui sebagai normatif, diakui bahwa huku itu mewajibkan, bahwa hukum itu harus ditaati. Ketaatan itu tidak dapat disamakan dengan ketaatan akan suatu perintah (Austin). Hukum ditaati, bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakngnya, melainkan karena mewajibkan itu termasuk hukum sendiri.
Pada hakikatnya hukum adalah norma yang mewajibkan. Hal ini jelas sebab bila suatu pemerintah tidak berhasil mengefektifkan suatu peraturan (ump. tentang pajak), sehingga peraturan itu kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut sebagai norma tidak hilang. Bahkan para toko neopositivisme abad ini (a.l. Hart) menerima, bahwa salah satu unsur hakiki hukum adalah bahwa hukum bersifat normatif, dan karenanya mewajibkan.

4.4 Masalah Hukum
Hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (undang-undang, leges, wetten), yang mengatur hidup bersama, yang dibuat oleh instansi yang berwenang, dan yang berlaku sebagai norma.
Untuk mempertahankan arti hukum sebagai sungguh-sungguh yang mewajibkan, satu-satunya jalan yang tinggal ialah memberikan perhatian kepada isi kaidah-kaidah hukum. Dengan isi hukum di sini bukan objek-objek yang diatur oleh suatu kaidah hokum yang dimaksudkan, melinkan cara suatu objek diatur; diperhatikan apakah suatu peraturan menurut isinya bersifat adil atau tidak. Sebab tentu saja, bila suatu kaidah menurut isinya menggalang suatu aturan yang adil, kaidah itu bernilai dan dapat ditanggapi sebagai mewajibkan secara batin. Karenanya timbullah pertanyaan: apakah keadilan termasuk pengertian hukum atau tidak?
Bila adil merupakan unsur konstitutif hukum, suatu peraturan yang tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, akan tetapi semata-mata bukan hukum: non-hukum. Kalau non-hukum, orang tidak terikat akan peraturan yang bersangkutan, dan tindakan balasan tidak sah. Sebaliknya, bila adil merupakan unsure regulatif bagi hukum, suatu peraturan yang tidak adil tetap hkum walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan (walaupun hanya secara ekstern berupa sanksi). Maka pertanyaan yang timbul berbunyi: apakah cukuplah  adanya suatu peraturan dalam bentuk yuridis yang tepat untuk dapat disebut hukum (richtiges/correct) atau perlu juga peraturan itu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan (gerechtes recht/just)?
Menurut pengertian tradisional, yang cukup kuat di Eropa, hukum pertama-tama menuju suatu aturan yang dicita-citakan yang memang telah dirancangkan dalam undang-undang, akan tetapi belum terwujud dan tidak pernah tidak terwujud sepenuhnya. Sesuai dengan dikhotomi (pemisahan) ini terdapat dua istilah untuk menandakan hukum:
1.     Hukum dalam arti keadilan (keadilan: iustitia) atau ius/Recht (dari regere= memimpin).
2.     Hukum dalam arti undang-undang atau (lex/wet). Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang         adil tersebut.










BAB 5
KO-EKSISTENSI ETIS
5.1 Eksistensi
Kata eksistensi dapat digunakan dalam arti umum untuk menandakan “apa yang ada”, umpamanya dikatakan: eksistensi Negara Indonesia. Akan tetapi dalam kalangan sarjana-sarjana filsafat kata eksistensi sudah lazim digunakan untuk menandakan keberadaan manusia saja, yakni cara manusia berada di dunia sebagai subjek yang konkret. Deangan menggunakan kata eksistensi maksudnya mengungkapkan bahwa manusia yang konkret (Dasein) “eksistit”, yakni berada pada dirinya sendiri dalam batin (sistit), akan tetapi juga keluar dari dirinya sendiri, yakni ke dunia.
Bahwa manusia berada pada dirinya sendiri dirasakan orang tipa-tiap saat. Apa saja yang dilakukan manusia, berpusat pada kesadaran manusia tentang dirinya, sehingga seluruh hidupnya dialami sebagai bagian dirinya disebut dimensi immanensia. Bahwa manusia keluar dari dirinya nyata juga, manusia tidak hidup dalam batin saja, tetapi apa yang dirasakannya dalam batin itu adalah apa yang ada di luar dirinya, yakni dalam dunia. Dengan demikian manusia mempunyai dimensi yang melampaui dirinya; iinilah dimensi transendensi.
Manusia sanggar subjek yang berimmanensi dan bertransendensi bersifat dinamis. Sifat dinamis ditandai dua hal:
1.     Manusia berkembang dengan menuju ke arah masa depan.
2.     Manusia berkembang melalui tindakannya sendiri.
Dari 2 hal di atas maka muncullah ide kunci pengertian manusia, yakni kebebasan.

5.2 Kebebasan Eksistensial
Intisari kebebasan. Manusia memang tidak bebas untuk masuk dunia atau tidak. Akan tetapi sesudah ditempatkan di dunia ini ia tinggal sebagai mahluk bebas. Kebebasan itu menyangkut masa depan, bukan masa lampau. Masa pada tiap-tiap tindakan arti dirinya dan dunia sudah ada. Atas dasar arti-arti tersebut manusia menetukan arti-arti selanjutnya.
Dasar kebebasan yang ada pada manusia terletak dalam hal ini, bahwa ia mempunyai suatu pandangan yang luas atas beberapa kemungkinan yang ada pada dirinya maupun pada lapangan tindakannya. Pandangan macam ini yang menimbulkan alternatif bertindak, disebut pandangan universal. Lalu menyusul apa yang bersifat hakiki bagi kebebasan manusia, yakni bahwa tindakannya/ pilihannya  berasal dari dirinya sendiri. Memang jelas bahwa saya tidak bebas bila saya bertindak, akan tetapi tindakan saya itu tidak berasal dari inisiatif saya sendiri. Inisiatif/pilihan sendiri merupakan unsur yang bersifat menetukan bagi kebebasan suatu tindakan.
Dapat disimpulkan, bahwa kebebasan itu bukan keterbatasannya, melainkan paksaan dari pihak orang lain, entah itu paksaan fisik, yang diadakan melalui kekerasan, entah itu paksaan moril, yakni dengan ancaman, bujukna, tipuan. Pada zaman kini dalam memaksa secara fisik sudah digunakan metode-metode yang merusak psike orang secara batin juga, umpamanya pembersihan otak, obat bius dan sebagainya. Karena adanya paksaan kebebasan berkurang atau hilang.
Kebebasan berupa inisiatif atau pilihan (bebas bertindak, bebas mamilih) disebut kebebasan “dari” yakni dari halangan dan paksaan. Makna kebebasan. Bila dikata bahwa intisari kebebasan ialah bahwa manusia bisa bertindak menurut inisiatif sendiri dan pilihan sendiri, atas dasar pandangannya yang universal, maka dengan ini makna kebebasan belum diungkapkan. Maklumlah tiap-tiap tindakan terdiri atas tiga unsur, yakni:
1.     Bertindak atau tindakan.
2.     Asal tindakan yakni aku,
3.     Tujuan tindakan.
Makna kebebasan baru tampak bila kebebasan dilihat dalam hubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Bila manusia mampu mengarahkan dirinya ke arah suatu tujuan yang bernilai baginya, ia sungguh-sungguh bebas.
Kebebasan eksestensial ini dikembangkan melalui suatu kehidupan yang berdisiplin, yakni dengan menentukan batas bagi kelakuannya sendiri sehingga kebebasan eksestensial ini yang disukai orang, diisi tiap-tiap orang secara berbeda-beda.
Kebebasan eksestensial ini selayaknya disebut “kebebasan untuk” juga, sebab disini kebebasan dipandang dari segi tujuan. Tetapi sudah jelas bahwa istilah “kebebasan dari” dan “kebebasan untuk” tidak hanya menunjuk dua segi kebebasan, tetapi juga menandakan dua tahap kebebasan, malahan dua tingkat.



5.3 Kebebasan Moral
Kebebasan rasional. Kebebasan yang sebagai eksistensial merupakan kemampuan pribadi untuk mencapai tujuannya dapat ditanggapi secara berlainan, bila ditentukan syarat tambahan, bahwa tujuan hidup yang hendak dicapai, harus ada suatu tujuan yang wajar (menurut pandangan umum). Kebebasan ini disebut rasional, sebab menuntut supaya orang insyaf tentang tujuan hidup yang sebenarnya dan nilai-nilai yang sungguh berarti.
Ternayata kebebasan ini melibatkan suatu unsur objektif di dalam dirinya, sebab dituntut supaya diperhitungkan fakta hidup dan nilai-nilai hidup objektif.
1.     Fakta. Apa yang paling banyak menentukan bagi ada tidaknya suatu kebebasan rasional ialah fakta bahwa tiap-tiap orang hidup bersama orang-orang lain.
2.     Nilai-nilai. Bila manusia berpikir tentang tindakan mana yang wajar mana           yang tidak, maka ia menjadi insyaf bahwa kebebasan yang benar tidak           ditentukan oleh kecenderungen-kecenderungan jasmani dan psikis           perorangan melainkan terutama oleh nilai-nilai universal, seperti kejujuran,           keadilan, kebaikan hati dan sebagainya.

5.4 Ko-Eksistensi
Pada kenyataanya manusia hidup bersama orang-orang lain. Kebersamaan ini nyata dalam seluruh hidup manusia, dalam segala tindakannya. Karenanya eksistensinya yang selalu berrati juga ko-eksistensi. ia keluar dari diri sendiri kearah sesama.
1.     Bahwa manusia tertuju kearah sesama manusia menjadi nyata di bidang biologis. Tiap-tiap manusia yang lahir di dunia ini membutuhkan orang-orang lain untuk dapat hidup dan berkembang. Hal ini nyata juga di bidang psikis. Manusia membutuhkan orang lain secara psikis; tanpa orang lain ia tenggelam dalam kesepian.
2.     Ko-eksistensi bersifat etis, bila tiap-tipa manusia dinilai sebagai mahluk yang istimewa, dan penghargaan ini diambil sebagai prinsip aturan hidup bersama. Sikap hormat ini berlawanan dengan sikap egois yang mengunggulkan kepentingan individual sendiri. Sikap hormat itu memuncak dalam kerelaan hati untuk melayani sesama manusia, bukan karena ada suatu hak padanya, tetapi karena timbullah rasa kewajiban dalam hati sendiri.
Kesimpulannya dalam ko-eksistensi terdapat tiga tingkat:
1.     Ko-eksistensi biologis-psikis, yang berdasarkan kebutuhan aku. Dalam keadaan ini aku dipandang sebagai lebih tinggi daripada sesama.
2.     Ko-eksistensi etis berdasarkan kesamaan hak. Dalam keadaan ini aku dipandang sama tinggi dengan sesame. Prinsip rasional ini menjadi sumber hukum.
3.     Ko-eksistensi etis berdasarkan kewajiban. Dalam keadaan ini sesame dipandang lebih tinggi daripada aku. Prinsip ini menjadi sumber moral hidup, dan sumber hidup bersama moral, yakni aku mau tunduk kepada sesama manusia demi suatu kehidupan yang luhur yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

BAB 6
HUKUM DAN KEADILAN

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum.
Pernyataan ini ada sangkut pautnya dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Hanya melalui suatu kata hokum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Kebenaran ini paling tampak dalam menggunakan kata “ius” untuk menandakan hukum yang sejati. Namun ungkapan “the rule of law” mempunyai latar belakang yang sama juga, yakni cita-cita akan keadilan.

6.1 Hukum dan Moral
Kehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia bermuara pada suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan moral. Kehendak untuk mengatur hidup menghasilkan tiga macam norma, yakni:
1.     Norma moral yang mewajibkan tiap-tipa orang secara batiniah.
2.     Norma masyarakat, atau norma-norma sopan santun yang mengatur  pergaulan secara umum.
3.     Norma-norma yang mengatur hidup bersama secara  umum dengan menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Inilah norma-norma hukum.
Nyatalah perbedaan antara norma-norma menyangkut baik dasar norma (objektif-subjektif). Norma-norma moral bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan suara hati subjek, lagi menuntut untuk sungguh-sungguh ditaati. Norma-norma sopan santun bersifat objektif, karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan, lagi tidak menuntut, hanya mengundang saja. Norma-norma hukum bersifat objektif, karena kaitannya dengan Negara, tetapi menuntut untuk ditaati.
Perbedaan antara hukum dan moral (etika) dapat diterangkan oleh I. Kant yang dilengkapi dengan uraian A. Reinach (1883-1917) sebagai berikut:
-         Norma moral mengena suara hati pribadi manusia, norma yurisdis berlaku     atas dasar suatu perjanjian.
-         Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah ke orang lain, sedangkan hak-hak yuridis dapat hilang dan dapat pindah (sesuai dengan perjanjian).
-         Norma moral mengatur baik hidup batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis preator non iudicat).
Norma-norma moral dan norma-norma hukum memang berbeda, akan tetapi adanya suatu hubungan yang erat antara kedua jenis norma itu di mana-mana diakui juga.
Hubungan norma moral dan hukum sebenarnya lebih erat lagi, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara abstrak, secara konkrit tidak usah muncul secara terpisah. Malahan justru dengan dijadikan norma hukum norma moral menjadi efektif bagi hidup bersama. Karenanya kewajiban yang timbul akibat timbulnya norma-norma yuridis ada dua jenis:
-         Yang bersifat ekstern karena sanksi; kewajiban ini bersifat yuridis belaka.
-         Yang juga bersifat intern atau moral: kewajiban ini bersifat etis-yuridis.
Suatu norma yuridis mewajibkan secara etis-yuridis, bila isinya menyangkut nilai-nilai dasar hidup. Inilah halnya pertama-tama dengan tata hukum sebagai keseluruhan, yamg tertuju untuk mencegah kekacauan dalam masyarakat.

6.2 The Rule of Law
Sistem hukum Anglo-saxon mengutamakan “the rule of law”, “the rule of law” harus ditaati, bahkan juga bila tidak adail. Sikap ini serasi dengan ajaran-ajaran filsafat empiris. Menurut filsafat itu hukum, entah tertulis atau tidak tertulis, adalah peraturan-peraturan yang diciptakan oleh suatu bangsa selama sejarahnya dan telah bermuara pada suatu perundang-undangan tertentu dan suatu praktek pengadilan tertentu. Hukum adalah undang-undang (lex/wet). Adil tidak merupakan unsur konstitutif pengertian hukum.
Beberapa pandangan memberikan konsekuensi-konsekuensi mengenai hukum yaitu:
1.     Pada prinsipnya hukum tidak melebihi Negara (yang dianggap sama dengan rakyat). Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adil. Tidak ada instansi yang lebih tinggi. Karena kemungkinan akan ketidak adilan tetap ada, diharapkan bahwa dalam praktek hukum, keyakinan-keyakinan rakyat dan kebijaksanaan para hakim menghindari penyimpangan yang terlalu besar.
2.     Hukum adalah apa yang berlaku de facto, dan itulah akhirnya tidak lain daripada keputusan hakim dan juri rakyat. Orang-orang yang hidup dalam Negara-negara yang menganut sistem hukum ini, sadar tentang hal ini juga; hokum tidak lain daripada apa yang ditentukan.
3.     Menurut aliran-aliran empirisme hokum sebagai sistem tidak mewajibkan secara batiniah, sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati oleh sebab terdapat sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman. Bila ada orang yang taat secara batiniah, hal ini terjadi karena keyakinan agama.


6.3 Hukum Sebagai “ius”
Dalam sistem hukum yang disebut kontinental, hukum ditanggapi sebagai terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan: hukum adalah undang-undang yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran filsafat tradisional, dimana pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan. Hukum ialah ius atau Recht.
Walaupun pengertian yang tradisionil ini menyangkut segala peraturan yang disusun oleh orang untuk mengatur hidup bersama mereka, kebanyakan orang zaman kini insyaf juga, bahwa tidak terdapat hukum dalam arti yang penuh di luar tata hukum Negara.
Dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan tidak menjadi hukum secara otomatis, karena berasal dari pemerintah. Hanya peraturan yang adil disebut hukum. Maka hukum dapat didefenisikan sbb; Hukum adalah peraturan-peraturan (undang-undang) yang dibentuk sebagai norma untuk mengatur masyarakat secara adil (oleh instansi yang berwenang).

6.4 Hakikat Hukum
Bila kita mengikuti gagasan-gagasan sistem hukum tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa inti pengertian hukum, yakni hakikat hukum ialah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil. Pengertian tentang hakikat hukum ini berazaskan pada beberapa pertimbangan.
1.     Ternyata semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil. Inilah pertama-tama ditujui dengan pembentukan undang-undang, yang harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Lagipula dengan tujuan yang     sama didirikan pengadilan. Pengadilan itu tugasnya ialah memecahkan perkara-perkara yang timbul akibat perbedaan pandangan antara warga-warga negara, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
2.     Pada umumnya hukum dialami sebagai berwibawa, sedemikian rupa sehingga hukum secara psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang      tinggal di bawah hukum tersebut. Wibawa hukum itu terletak dalam         kekuasaan pemerintah yang menciptakannya.
3.     Sejak pertengahan abad timbullah kecenderungan untuk menyamakan     hukum dengan suatu upaya (a tool) dalam membangun masyarakat,     khusunya menurut aspek sosio-ekonominya (social engeneering).     Perkembangan ini berjalan terus, sejajar dengan perkembangan ilmu-ilmu     pengetahuan yang bersangkutan.

Kesimpulan:
Hakikat hukum ialah: membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht). Semua arti lain menunjuk kea rah ini sebagai arti dasar segala hukum.








BAGIAN 3

AZAS-AZAS HUKUM









BAB 7
PRINSIP –PRINSIP HUKUM OBJEKTIF
7.1 Azas-Azas
             Azas-azas Hukum  adalah prinsip yang di anggap sebagaio dasar yang sangat fundamental hukum. Azas ini merupakan  suayau pengertian dan nilai yang menjadai suatu titik tolak tentang cara berpikir tentang hukum, pemikiran dalam pembentukan Undang-undang  da interpretasi undang-undang tersebut. Oranf berkeyakinan bahwa manusia tidak dapat membentuk suatu undang-undang  dengan sewenang-wenang, harus dengan ada nya prinsip yang lebih tinggi dari hukum Objektif dan Subjektif.
             Azas Hukum Objektif adalah prinsip yang menjadai dasra pembetukan peraturan Hukum, sedangkan Azas Hukum Subjektif adalah prinsip yang menyatakan kedudukan subjek berhubungan dengan hukum.
          Dalam pembagiannnya Azas Hukum dibagi atas tiga jenis:
1.     Azas Huku Objektif yang bersifat moral,adalah prinsip yang sudah ada sejak jaman klasik dan abad pertengahan.
2.     Azas Hukum Objektif yang bersifat Rasional yaitu prinsip yang termasuk pengertian hukum dan sturan hukum  dan aturan hidup bersama yang rasional.
3.     Azas Hukum Subjektif yang bersifat moral maupun rasional, adalah hak yang ada pada manusia yang menjadi titik tolask pembentukan  Hukum.


7.2 Hukum Kodrat
                   Pemikir zaman dahulu umumnya menerima suatu hukum yang berbeda dari pada Hukum positif, yang disebut hukum alam atau hukum Kodrat. Hukum itu tidak tertulis namun ditanggapi orang sebagai Hukum.disebabkan apa yang termasuk aslm manusia sendiri, yakni Kodratnya. Hukum juga tidak berubah untuk segala jaman. Hukum itu lebih kuat dari hukum positif , sebab menyangkutr makna kehidupan manusia itu sendiri karenanya hukum itu mendahului huku yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai azas bagi nya (Hukum adalah aturan)
                   Perkembangan Hukum Kodrat dalam Sejarah:
1.     Zaman Klasik (Aristoteles, Warga polis yang mempunyai hak  yuridis)
2.     Zaman Pertengahan (Thomas Aquinas, prinsip segala hukum positif yang berhubungan dengan manusia dan dunia sebagai ciptaan).
3.     Zaman Rasionalisme (Hukum kodrat sebagai pernyataan akal budi praktis manusi).
4.     Awal Abad XX (Messenener, Hukum kodrat sama dengan hukum prinsip dasar bagi kehidupan social individual)
Karena  pada zaman sekarang ini diterima adanya prinsip yang harus digunakan dalam penyusunan peraturan, tetapi prinsip itu pada umumnya tidak dipandang lagi sebagai prinsip abadi. Hanya prinsip umum saja yang dipandang sebagai prinsip dasar, misalnyaHak Manusia menghadapa pengadilan. Maka hanya sedikit yang natural Law.Namun dilakukan penggantian prinsip hukum kodrat yang lama yang sekarang ini menjadi prinsip , Keadila, Kejujuran, Kesopanan dll yang terkandung dalam etika yang berfungsi sebagai dasar dan Norma Hukum yang emiliki ketetapan, akan tetapi juga suatau kelonggaran untuk berubah sesuai dengan Zaman.
Karenanya para ahli hukum senantiasa berusaha untuk melembagakan (menginstutisonolasisaikan) prinsip hukum yang memamsukkan nya kedala undang – undang yang tentu saja prinsip yang lama  menjadi bahan pertimbangan bagi para ahli rasional, mereka itu dnegan mudah memasukkan kedalam tata hukum.
Dengan adanya usaha melembagakan prinsip hukum, dapat terjadi bahwa prinsip yang belum dikodifikasikan dianggap sebagai hukum yang berlaku, yakni sebagai hukum kodrat.  Para penganut positive cenderung untuk memandang prinsip hukum sebagai prinsip regulative saja, yakni prinsip yang berfungsi sebagai pedokan bagi terbentuknya hukum.Artinya Prinsip tersebut harus diindahkan pada saat undang –undang itu dibetuntuk, akan tetapi bila tidak diindahkan , undang-undang yang yang disetujui tetap berlaku juga.
7.3 Azas Rasional Dan Moral
               Perbedaan danatar azas hukum rasional dan azas hukum moral terletak dalam hal, bahwa azas hukum rasional umumnya dianggap sebagai bertalian dengan suatu atura hidup bersama yang asuk akal, dan sebagai titik tolak bagi pembentukan suatu tata hukum yang baik. Sedangkan Azas Huku Moral lebih dipandang sebagai unsur Idiil, yang belum tentu dapat diwujudkan dalam tata hukum yang direncanakan.
1.     Azas Rasional Hukum,yang disebut baik azas bagi hukum Objektif maupun bagi hukum objektif, antara lain ;
-         Hak Manusia sebgaai pribadi.
-         Kepentingan Masyarakat.
-         Kesamaan  hak didepan pengadilan.
-         Perlindnugan terhadap yang kurang mampu.
-         Tidak ada ganti rugi tanpa kesalahan.
2.     Azas Moral Hukum yang paling umum adalah Lakukanlah yang baik, hindarkan yang jahat, Hiduplah secara terhormat,jangan merugikan orang lain, yang dianggap sebagai hukum kodrat dan entah huku yang dianggap berkaitan dengan kehendak Tuhan atau tidak.
7.4 Azas Hukum Dan Agama
     Bahwa Hukum yang harus berpedoman pada prinsip moral tidak hanya diterima orang. Oleh sebab itu sesuai dengan keyakinan hati nurani tetapi juga sebab diperintahka oleh agama. Dalam ajaran agama juga terdapat norma yang mengatur tentang tata cara mengatur kehidupan salam masyarakat dan hidup bersama. Manusi tidak mampu menentukan norma kehiduopan dengan menggunakan akal budi nya saja, satu-satunya sumber prinsip hukum yang dapat diandalkan adalah wahyu dari Tuhan.Agama dan hukum tidak memiliki suatu ikatan yang berdsarkan logika belaka, karena huku itu tidak tergantung dari wahyu dan harus didekati pertama secara rasional, dan yang harus diperhiungkan adalah bahwa ajaran agama yang sehat dapat membimbing akal budi unutk menemukan pinsip yang tepat.





BAB 8
Hak-Hak Manusia
8.1 Hak dan Kewajiban
Dari segi tradisional dapat dibedakan atara Hak dan Kewajiban :
-         Hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap anusia sebagai sebab berkaitan dengan Realitas kehidupa manusia itu sendiri, yang seacam itu tidak perlu direbut  karena sudah ada dan tidak tergantung dari persetujuan orang lain dan tidak dapat dicabut oleh siapapun di dunia ini.Namun pada keyataannya tidak selalu hak itu selalu di akui oleh orang, perlu timbulnya kesadaran tentang hak itu terlebih dahulu.
-         Hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan hak yang berdasarkan undang-undang . Hak itu tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, tetapi akan menjadi hak sebab tertampoung dalam undang-undang yang sah. Jelasnya hak itu dapat dituntut di depan pengadilan.
8.2 Martabat Manusia
     Degan menyebut manusia menurut martabatnya dimaksudkan, bahwa menuais merupakan suatu mahluk yang istimewa yang tidak ada bandingnya disunia. Tetapi terdapat perbedaan pandangan tentang hak mana yang sebenarnya merupakan hak manusia itu. Teori yang paling sering muncul dalam sejarah pikiran manusia, ialah bahwa keistimewaan manusid terletak dalam wujud keistimewaan manusid yang bersifat rasional.Hak yang didapati rasional bersifat abadi dan tetap berlaku yang harus diindahkan oleh setiap orang dan Negara untuk membuat kesadaran akan hak dasar  ilmiah tersebut.
     Terdapat hak pada anusid, ahkan hak abadi, namun hak abadi itu tidak dapat ditemukan pada manusia  tanpa wahyu. Manusid tidak mampu mengetahuinya sebab manusia itu sendiri berdosa, sehingga tersesat untuk menemukannya, namun yang sejatinya hanya dapat ditemukan berdasrkan wahyu.
     Dalam mengambil martabat manusia sebagai motif suatu putusan, para hakim biasanya tidak menyinggung soal teoritis, seperti apa artinya kodrat manusia, spesifik manusia sebagai subjek sudah mencukupi.
8.3 Hak-Hak Azasi
     Hak manusia disebut hak-hak azasi, oleh sebab iu mereka itu dianggap sebagai fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun. Hak itu erupakan hakl azas undang-undang.
Prinsip yang terkandung dalam pegakuan manusid sebagai subjek hukum mulai dirumuskan sebagai bagian integral tata hukum. Perumusan tentang Hak manusia yang terpenting:
-         Magna Catra (manusia mempunyai hak unutuk mengahadap).
-         The Virginia Bill Of Rights (manusia berhak akan ‘ life, liberty, the persuit of happiness).
-         Declaratioandes droits.
-         Deklarasi tentang hak –hak manusia yang berkarya dan diperas yang menitik beratkan hak social.
Namun biasanya hak azasi dibagi:
a)     Hak Funfamental yang melekat pada pribadi manusia individual: hak atas hidup dan berkembang hidup.
b)    Hak yang melekat pada pribadi manusia itu sendiri sebagai mahluk social sebagi dalam hak ekonomis, social dan cultural. Hak manusia menyangkut hak untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup.
     Telah disusun daftar hak-hak manusia yang umumnya diakui pada zaman sekarang. Dokumen Hak azasi PBB yang erupakan dokuen Internasional yang pertama tentang hak azasi.
a)     Manusia mempunyai hak kebebasan politik, tipa pribadi manusia harus dilindungi terhadap penyelewengan dari pihak pemerintah.
b)    Manusia mempunyai hak social , yakni hak unutk memenuhi kebutuhan pokok, Sandang , Pangan perawatan kesehatan dan pendidikan
c)     Manusia mempunyai hak sipil dan politik dalam menentukan pemerintahan dan policy pemerintahan tersebut.
























BAGIAN 4
PRAKTEK HUKUM







BAB 9
POLITIK HUKUM

9.1Nara Sumber Hukum 
Pada jaman dahulu dengan religius yang baru di percaya oleh pada jaman dahulu kala hukum adalah merupakan kehendak dari seorang raja dan adakan dilaksanakan oleh seluruh rakyatnya dimana sebuah hukum adalah merupakan keinginan dari allanya masing masing yang diaggap memang adalah perintah yang harud dilaksanakan.
          Namun seiring perubahan jaman manusia makin meneliti bagai mana hukum tersebut dibuat dan benrpikir bahwa hukum itu tidak sepenuhnya merupakan perintah penguasa bahkan pencipta semesta, melainkan adanya campur tangan manusia mempunyai kesempatan dalam pembuatan hukum tersebut.
9.2Hukum dan Kekuasaan
Hukum dengan kekuasaan mempunayi hubungan yang sangat erat, dimana seorang penguasa maka hukum yng digunakan merupakan hukum yang menurut dia dapat menguntungkan situasi politnya, sehingga apabila kekuasaan di sandingkan dengan hukum, maka output dari hukum itu sendiri tidak sesuai dengan yang di inginkan oleh para masyarakat luas.

9.3Hukum dan Masyarakat
Tujuan suatu bangsa adalah mensejahtrakan masyarakatnya sehingga apabila hukum harus berdasar dari kondis dari masyarakatnya baik bentuk adat istiadat, bahasa, kesenian, adat istiadat, moral agama sehingga hukum yang akan dibentuk selaras dengan keinginan masyarakat untuk melakukan aktiviasnya masing – masing yang menjadi objek untuk dikelolah oleh pemerintah.


9.4Tujuan Politik Hukum
Kepastian hukum adalh menjadi tujuan hukum yang sebenarnya sehingga dengan keefektifan hukum maka kepastian hukum terjamin dan bila pemerintah mempunyai sarana yang secukupnya untuk memastiakan peraturan- peraturan yang ada maka telah tersedia aparat negara dalam menegakkan hal tersebut yaitu, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.




















BAB 10
PENGADILAN

10.1 Legalisme
          Dalam masyarakat yang sudah memahami tentang pengadilan maka akan bepikir secara rasional dengan penyelesaian – penyelesaian perkara yang kongkrit.

          Terhadap pandangan rasionalistis ini dikatakan:
a.            Legalisme murni tidak mungkin dimana semua penerapan kaidah – kaidah hukum yang umum dan abstrak pada perkara-perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum baru
b.            Putusan seorang hakim tidak dapat diputuskan secara logis dari peratuaran-peraturan yang berlaku. Sebab aturan itu tidak sempurna, juga salah dan kurang tepat yang membuat ketidak adilan.

10.2 Ajaran Hukum Bebas

Ajaran hukum bebas terdapat di hukum Amerika dimana ajaran hukum tidak terikat  pada undang–undang namun kebijakan Hakim yang ditentukan dari hasil praktek didalam pengadilan sehingga hakim mempunyai kuasa penuh. Teori–teori dalam undang–undang kurang di pedulikan oleh Hakim sebagai pengambil keputusan yang membuat ke istimewaan undang–undang tersebut menjadi hilang.

10.3 Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap Begriffsjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman Interessenjurisprudenz,  suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (Interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran ini disebut Interessenjurisprudenz.  Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke 20 di Jerman.
Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Menyadari bahwa sistematisasi hukum tidak boleh dibesar-besarkan, maka von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang sistem dan merealisasi “idée keadilan dan kesusilaan yang ta’ mengenal waktu. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
Philip Heck, yang termasuk salah seorang penganut aliran ini, berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial, moral, ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu atau yang berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum yang tepat dan berarti, tidak mungkin.
10.4 Idealisme Yuridis Baru

Salah satu pokok pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan hukum, dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor
penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.
          Di Indonesia seorang hakim harus mengindahkan nilai - nilai yang terdapat dalam masyarakat ( UU no 14 tahun 1970, pasal 27) dilain pihak juga para hakim untuk tetap mengindahkan UU yang baku, karena tidak cukuplah bagi seorang hakim untuk memupuk rasa keadilan sosial yang tinggi.      






























BAGIAN 5
DISIPLIN HUKUM










BAB 11
ILMU HUKUM

11.1 Ilmu-ilmu Hukum
Ilmu-ilmu tersebut menyumbang bagi pengertian–pengertian hukum dab praktek hukum yang tepat akan tetapi tidak menjadi bahan pokok ilmu hukum
a.     Sosiologi hukum menyelidiki situasi sosial–ekonomi masyarakat yang menyebabkan adanyanya suatu itu peraturan hukum tertentu.
b.     Psikologi hukum menyelidiki perasaan–perasaan prikologis yang relevan dibidang hukum
c.     Sejarah Hukum mempelajari perkembangan hukum dari jaman ke jaman
d.     perbandingan hukum mempelajari kesamaan dan perbedaan beberapa sistem tata hukum

11.2 Penafsiran Undang – undang
          Penafsiran penambah
Yang dimaksud dengan penafsiran penambah adalah penasiran terhadap suatu undang undang dengan memberikan komentar – komentar yang menghilangkan rasa samar samar terhadap maksud dan tujuan undang – ungdang tersebut.

          Penafsiran Pelengkap
Maksudnya adalah penafsiran yang dibuat dengan untuk melengkapi untuk menjelaskan maksud dan tujuan yg terkadung dalam teks undang – undang tersebut. Sehingga rasa keadilan yang terkandung dalam undang – undang tersebut menjadi lebih jelas dan mudah dipahami.

          Penafsiran Budaya
Penafsiran ini adalah penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinan-keyakinan suatu masyarakat tertentu. Keyakinan ini tidak bersifat politik melainkan bersifat sosial – etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat tertentu diangap layak atau tidak.

11.3 Ilmu hukum dan Praktek Hukum
Penafsiran undang - undang dapat dilakukan oleh semua orang tergantung pada arah hukum itu dilakukan bagai mana dan keperluannya untuk apa, dan penafsiran akan berubah arti apabila si penafsir berada disalah satu sisi pada hukum tersebut sehingga apa yang menjadi buah pikirannya menjadi tidak mencerminkan keadilan sebagai mana yang dibutuhkan oleh sebuat hukum adalah keadilan.

11.4 Rasionalitas ilmu hukum
Badan Peradilan yang tertinggi di Indonesia adalah Mahkamah Agung, sedangkan Badan Peradilan yang lebih rendah yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah :

a.
Badan Peradilan Umum


-
Pengadilan Tinggi


-
Pengadilan Negeri

b.
Badan Peradilan Agama


-
Pengadilan Tinggi Agama


-
Pengadilan Agama

c.
Badan Peradilan Militer


-
Pengadilan Militer Utama


-
Pengadilan Militer Tinggi


-
Pengadilan Militer

d.
Badan Peradilan Tata Usaha Negara


-
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara


-
Pengadilan Tata Usaha Negara






Dalam melaksanakan tugasnya Mahkamah Agung (MA) merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang terlepas dari kekuasaan pemerintah. Kewajiban Dan Wewenang MA menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah:
-      Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
-      Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
-      Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi.

BAB 12
KEAHLIAN SARJANA HUKUM

12.1 Kesenian Hukum
Pokok ilmu hukum adalah undang – undang yang berlaku dan metode yang khas adalah penafsiran undang – undang tersebut dalam hubungan dengan praktek hidup dengan segala segi, namun ilmu hukum tidak hanya mengenai undang – undang yang dirancangkan. Pekerjaan ilmiah ini paling dekat dengan hakikat hukum  sebagai mahluk sosial yang hidup bersama – sama di dunia ini manusia berwajib menciptakan suatu atuaran hidup bersam dengan adil.

12.2 Pembentukan Undang – Undang
Undang – undang dibentuk sesuai dengan kepoerluan masyarakat luas dengan tanpa memandang status dan kondisi warganya yang membuat dampak sangat kecil dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan kata lain pembentukan hukum dibuat untuk menjaga setiap bentuk kehidupan manusia terutama dalam Idiologi, politik,  ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan ( IPOLEKSUSBUDHANKAM) dan selalu di upayakan adalah untuk mendukung kepentingan masyarakat agar terdapat yang disebut dengan keadilan sosial bagi kesejahrtaan bangsa.
Adapun mekanisme yang harus ditempuh dalam pembuatan undang – undang tersebut juga sangat penting dimana bertujuan untuk menghasilkan suatu undang – undang yang benar - benar memperhatikan selurh aspek kehidupan, bukan hanya mengatur kepantingan – kepentingan kelompok marginal / elit namun sampai kelompok kalangan bawah. Sehingga terdapat keseimbangan sosial yang merata.


12.3 Renungan tentang makna hukum
          Penyelidikan tetang hukum, yang menyangkut hukum sebagai hukum:
a)     apa arti hukum sebenarnya, yang beralaskan pada akal budi praktis, sebab merupakan hasil kehendak bebas dan otonom manusia yang membangun hidupnya.
b)    Manaka prinsip – prinsip umum hukum yang berlaku di mana – mana, sebab termasuk pengertian hukum manakah asalnya, makah tujuannya.

12.4 Pemeliaharaan Hukum
Seorang sarjana hukum adalah seorang ahli dibidang hukum, yang tahu tetang hukum secara ilmiah yakni metodis dan sistematis. Sesuai dengan uraian diatas struktur disiplin hukum adalah sebagai berikut:
a.             Ilmu hukum yang mengenai ilmu hukum atau ilmu hukum sistematis.
b.            Kesenian hukum yang mengenai pembentukan hukum
c.             Filsapat hukum makna dan dasar hukum
d.            Ilmu –ilmu hukum seperti sosiologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum.

Seorang sarjana hukum juga harus mampu:
a.            Menafsirkan undang-undang yang berlaku secara tepat
b.           Membentus undang -undang secara tepat.

Seorang sarjana juga harus mampu bersikap:
a.            Sikap kemanusian, supaya ia jangan menanggapi hukum secara formal belaka.
b.            Seikap keadilan, untuk mencari apa yang layak bagi masyrakat.
c.             Sikap kepatutan, sebab perlukan pertibangan tetang apa yang sungguh - sungguh adil dalam suatu perkara kongkrit.
d.            Sikap jujur tidak ikut korupsi.


DAFTAR PUSTAKA

Huijbers, Theo. 1962. Filsafat Hukum. Kanisius. Djakarta